Rabu, 11 November 2009

Kekerasan Anak Sekolah Minggu (ASM)

Kekerasan Anak Sekolah Minggu (ASM)
“Sikap Gereja Terhadap Kekerasan Guru Sekolah Minggu kepada Naradidik”

I. Pendahuluan
Perpanjangan dari gerakan pentakosta ada pada tahun 1901 di Kansas dan penyebarannya sangat cepat di seluruh tempat. Masyarakat semakin akrab dengan kekerasan terkadang tindakan kekerasan dianggap sebagai salah satu bentuk penyelesaian masalah.Kekerasan merupakan suatu tindakan yang telah terjadi dalam kehidupan manusia, bahkan tindakan ini telah terjadi dalam kehidupan bergereja. Tindakan kekerasan ini pun tidak hanya terjadi pada kalangan orang dewasa, akan tetapi kepada anak-anak juga. Kekerasan dilakukan dari anak yang masih bayi hingga pada orang lanjut usia. Tidak ada pengecualian atau pembatasan kepada atau terhadap siapa kekerasan ini dilakukan. Kekerasan tidak lagi memandang apakah makhluk tersebut layak untuk mendapatkan tindakan tersebut. Terkadang, anak-anak kecil yang belum mengerti apa itu kekerasan, menjadi korban dari tindakan kekerasan tersebut. Sebagai contoh, di suatu gereja protestan yang terletak di kawasan Senen, Jakarta pusat terdapat sejumlah anak didik sekolah minggu menjadi korban kekerasan dari Pembina sekolah minggu. Seperti yang diketahui seorang anak kecil selalu bertindak mengikuti keinginan hati mereka, tanpa memikirkan apa yang telah mereka lakukan menyenangkan orang lain, yang mereka ketahui hanyalah bahwa tindakan mereka tersebut menyenangkan mereka. Di gereja ini, setiap anak sekolah minggu melakukan kenakalan, sebagai contoh: tidak berdoa disaat berdoa, melakukan kegiatan pribadi selama sang Pembina menyampaikan Firman Tuhan, sang anak bermain saat mendedangkan pujian. Maka, samg anak akan dicubit, dipukul, dan dibentak. Layakkah mereka mendapatkan pengajaran tambahan mengenai kekerasan dari Pembina sekolah minggu mereka?, dan bagaimana sikap atau tindakan gereja terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan Pembina sekolah minggu terhadap naradidiknya?. Maka, melalui paper ini penulis akan mencoba membahasnya.

I. Isi

II.a. Definisi Kekerasan

Kekerasan adalah perihal keras, perbuatan seseorang atau sekolompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, paksaan.
Kekerasan berarti yang mengandung tekanan, desakan yang keras. Kekerasan ini membawa kekuatan paksaan dan tekanan (Windhu, 1992;63). Poerwadarminta, mendefinisikan kekerasan sebagai “sifat atau hal yang keras; kekuatan, paksaan.” (Poerwadarminta, 1986’404). Kekerasan bukan kosakata asing bagi peradaban manusia. Sejak manusia diciptakan telah terjadi kekerasan, ini dapat dibaca dari kisah Kain dan Habil, sebagaimana tertulis dikitab suci.
Macam kekerasan bisa berupa tindakan kekerasan fisik atau kekerasan psikologi:
• Definisi kekerasan Fisik (WHO): tindakan fisik yang dilakukan terhadap orang lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, seksual dan psikogi. Tindakan itu antara lain berupa memukul, menendang, menampar, menikam, menembak, mendorong (paksa), menjepit.
• Definisi kekerasan psikologi (WHO): penggunaan kekuasaan secara sengaja termasuk memaksa secara fisik terhadap orang lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, mental, spiritual, moral dan pertumbuhan sosial. Tindakan kekerasan ini antara lain berupa kekerasan verbal, memarahi/penghinaan, pelecehan dan ancaman.



II.b. Hal-hal yang Terjadi pada Anak Korban Kekerasan

Anak-anak yang mengalami kekerasan bisa mengalami hal-hal sebagai
Berikut:
1. Anak menjadi orang yang mementingkan diri sendiri. Kekerasan sebetulnya merupakan pernyataan atau wujud dari tekad membela kepentingan. Jadi, kalau kita dihadapkan atau hidup di tengah- tengah masyarakat atau keluarga yang makin hari makin keras memperlakukan anak, si anak yang kita besarkan ini mungkin bisa bertumbuh besar menjadi orang yang egois yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan akhirnya mempunyai sifat yang keras. Dia, misalnya, akan mengekspresikan kemarahannya dengan kekerasan. Hal ini sangat potensial membuat anak juga melakukan kekerasan dalam rumah tangganya kelak.
2. Kekerasan pada anak dapat menghancurkan anak secara rohani, emosional, dan sosial sebagaimana halnya dengan fisik. Anak yang mengalami kekerasan sering mengalami depresi, rasa takut serta perasaan bersalah. Mereka akan mengalami kesulitan untuk mempercayai orang lain dan merasa kurang percaya diri.


II.c. Tindakan Gereja Terhadap Kekerasan yang Terjadi pada ASM

Kasus kekerasan terhadap anak belakangan ini cukup marak terjadi, hal yang mencengangkan ialah bahwa kebanyakan kasus kekerasan justru dilakukan oleh orang terdekat anak itu sendiri. Tentu saja hal ini sangat memprihatinkan, mengingat bukan tidak mungkin hal itu dialami oleh anak didik sekolah minggu juga. Beberapa Pembina sekolah minggu yang mengaku percaya pada prinsip-prinsip kedisiplinan yang ada di Alkitab justru memiliki penafsiran dan penerapan Alkitab yang salah sehingga mereka melakukan kekerasan pada anak-anak, memukul dengan menggunakan saat anak tersebut bermain pada saat ibadah pelayanan anak. Kekerasan anak adalah berbagai tindakan yang dapat melukai seorang anak. Luka itu bisa disebabkan oleh emosi yang diperlihatkan Pembina sekolah minggu terhadap anak didik yang melakukan kesalahan atau kenakalan. Bisa juga karena pemahaman yang salah mengenai disiplin dan hukuman untuk anak. Kekerasan itu dapat terwujud secara emosional dan fisik. Seringkali, kekerasan terhadap anak dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Oleh karena itu, banyak kasus yang tidak terungkap karena anak merasa bahwa adalah hak Pembina sebagai guru atau orang yang lebih tua dari mereka untuk melakukan tindakan itu pada mereka. Mereka juga takut akan hukuman yang lebih berat lagi jika mereka membantah atau menceritakan hal tersebut kepada orang lain. Yang seharusnya dilakukan gereja adalah, gereja perlu menekankan kepada anak bahwa kita boleh melindungi diri, tetapi dalam pengertian menjadi orang yang tegas bukan orang yang kasar. Dalam kelas sekolah minggu, sering-seringlah menekankan pelajaran-pelajaran mengenai kelembutan, kasih, disiplin, ketegasan Yesus. Untuk anak-anak yang berjiwa keras, dengan tegas dapat kita katakan dan ajarkan bahwa saat mereka melakukan hal yang negatif, seperti memukul temannya, itu berarti mereka sedang berdosa kepada Tuhan. Jika mereka memberikan sanggahan bahwa orang tuanya pun melakukan hal itu kepada dia, ajaklah dia dengan lemah lembut untuk mendoakan orang tuanya. Bagi anak-anak yang karena kekerasan pada dirinya menjadi orang yang kehilangan kepercayaan diri atau depresi berat, bimbinglah mereka dengan lemah lembut pula. Tunjukkan pada mereka bahwa Anda ada di pihak mereka dan siap mendukung. Berikanlah kepastian kepadanya bahwa mereka aman saat berada di dekat guru sekolah minggu. Pendekatan secara pribadi dan intensif sangat perlu bagi anak yang mengalami kasus ini. Mungkin kita tidak dapat mencampuri urusan keluarga anak sekolah minggu, tetapi kita dapat membantu mereka dengan memulihkan sakit fisik, mental, maupun rohani mereka. Yang dapat kita lakukan, antara lain sebagai beriku
a. Melakukan kunjungan ke rumah anak sekolah minggu. Dalam kunjungan, fokuskan kunjungan pada anak, bukan untuk menasihati atau bahkan menyalahkan orang tua mereka. Jika sangat sulit menemui anak di rumah, waktu-waktu setelah ibadah sekolah minggu selesai akan menjadi saat yang sangat tepat bagi Anda untuk melakukan pendekatan tersebut.
b. Dalam pertemuan pribadi Anda dengan anak, biarkan mereka mengungkapkan seluruh isi hati mereka. Biarkan mereka menangis atau mengungkapkan kemarahan mereka di hadapan Anda. Jadilah pendengar yang baik dan jangan menyela pembicaraannya.
c. Untuk anak kelas kecil, Anda dapat membelikan buku-buku cerita Alkitab bergambar. Lalu, ceritakan atau berikanlah buku-buku tersebut kepada mereka secara pribadi.

II. d . Tindakan yang Seharusnya dilakukan Seorang Pembina Sekolah Minggu

Komunikasi biasanya memang identik dengan verbal atau kata-kata. Namun pada zaman sekarang kita tidak cukup dengan komunikasi kata, melainkan komunikasi pikiran, komunikasi hati, komunikasi perbuatan.

1. Komunikasi kata.
Jangan menggunakan kata-kata konfrontasi yang kasar dan memancing amarah ataupun dengan ucapan siapa yang berkuasa. Apabila kita mencecar anak-anak dengan peluru kata-kata maka ada 2 kemungkinan yang terjadi: ia akan lari ke tempat persembunyiannya dan melampiaskan amarahnya atau kemungkinan kedua, ia akan balas menyerang saudara.

- Selesaikan dulu urusan saudara sebelum saudara menyelesaikan urusan dengan anak-anak SM saudara. Biasanya kita yang dalam keadaan sibuk, capek dalam pelayanan mudah sekali untuk melampiaskan emosi kepada anak-anak karena merasa anak-anak tidak berani menantang atau membalas kita. Keluarkanlah dulu balok di mata kita, barulah kita mengeluarkan serpihan kayu di mata anak-anak SM kita (Mat. 7:3-5).
- Setelah saudara mempersiapkan diri (berdoa terlebih dahulu), berbicaralah dengan anak SM saudara di tempat yang tepat dan waktu yang tepat (saya biasanya melakukannya ketika setelah belajar atau kerumahnya. Di remaja yang saya pernah alami atau sekali-sekali di tempat ini, saya sering menggunakan kesempatan bertemu di hari senggang untuk ngobrol, atau bisa juga saya ajak pergi makan dan di sanalah saya berbicara menanyakan perihal pergumulan di dalam dirinya). Jangan menegur mereka di tempat umum atau di depan teman-temannya karena hal tersebut hanya akan membuat dirinya malu. Ambillah waktu khusus maka secara tidak langsung saudara hendak mengatakan, “Kamu sangat berarti bagi saya.” Memberikan hikmat kepada anak-anak bukan dengan cara memukul anak-anak dengan kata-kata melainkan Amsal 1:8-9 berkata, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu, sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu.” Seperti memberikan harta yang termahal baginya. Kita harus menghindarkan dari mencari tahu siapa yang benar atau siapa yang salah. Di dalam buku Masa Penuh Kesempatan yang ditulis oleh Paul David Tripp, dia mengemukakan tiga cara untuk menolong kita ketika kita menghadapi anak-anak (remaja) yang bersikap defensif:

a. Menjelaskan makna dari tindakan kita. Kita bisa katakan, “Jangan salah paham, om/tante tidak menuduhmu. Om/tante sangat mengasihimu dan karena kasih itu, om/tante ingin melakukan apa saja yang bisa om/tante lakukan untuk menolongmu. Kalau ada hal yang ingin kau sampaikan sama om/tante, kamu bisa tolong beritahukan dengan hormat kepada om/tante.”
b. Kita harus menolong mereka meneliti sikap defensif mereka sendiri. Menurut Tripp, anak-anak menderita kebutaan spiritual sehingga perlu untuk dibimbing melihat keadaan spiritual mereka sendiri. Kita dapat katakan, “Tahukah kamu ada banyak kegelisahan atau kekacauan di ruangan ini. Bukankah om/tante tidak membentakmu, menyakitimu, atau menuduhmu? Tetapi sepertinya kamu tidak suka dengan om/tante. Mengapa kamu marah atau tidak suka sama om/tante? Dapatkah kamu jelaskan kepada om/tante?”
c. Berusaha jujur dengan cara mengaku dosa-dosa yang telah kita lakukan kepada anak-anak kita. Kadang tanpa sadar kita sudah melukai hati mereka dengan kata-kata kita yang kasar, membentak, atau mungkin memukul. Kita harus akui kesalahan kita kepada anak-anak kita dan tunjukkan juga pengakuan itu kepada Tuhan agar anak-anak dapat menyadari dosa mereka juga di hadapan Tuhan dan kita.

2. Komunikasi pikiran.
Bawa mereka di dalam pengenalan akan diri mereka sendiri. Ajukan pertanyaan yang membutuhkan deskripsi, penjelasan, dan pengungkapan diri. Jangan puas hanya dengan jawaban ya atau tidak saja. Anak-anak biasanya suka bercerita (mulai berkurang pada zaman ini), jadi manfaatkan kebiasaan mereka ini dengan mendengarkan keluhan mereka. Pancing mereka mengungkapkan segala gundah gulana mereka. Mengapa? Karena biasanya anak-anak yang “bermasalah” di SM memiliki masalah pula di rumah. Jadi dengan mengetahui isi pikiran mereka, maka kita kira-kira dapat mengira bagaimana kehidupan keluarga mereka di rumah, bagaimana perlakuan yang mereka dapatkan dari orangtua mereka. Anak-anak memang akan sulit sekali mengungkapkan pemikiran mereka karena pikiran mereka masih abstrak dan belum tersusun rapi, terlebih lagi mereka sudah “malas” berpikir keras kalau hal itu tidak menantang mereka (seperti permainan game yang mereka mainkan).
3. Komunikasi hati.
Apakah kita pernah mengajak anak-anak didik kita masuk ke dalam pembicaraan yang dalam? Misalnya membicarakan tentang Tuhan Yesus secara pribadi kepada mereka? Biasanya pengajaran di kelas sangat menyulitkan kita untuk menembus hati setiap anak karena pengajaran yang kita ajarkan bersifat umum dan bisa saja ditanggapi dengan berbeda-beda oleh setiap anak. Penting sekali kita kembali mengajarkan secara pribadi kepada setiap anak agar kita dapat lebih memperkenalkan kepada anak-anak mengenai Yesus.
4. Komunikasi perbuatan.
Tunjukkan kasih kita dengan perbuatan! Saya menyarankan kita untuk melakukan perkunjungan agar anak-anak dapat merasa lebih dekat dan diperhatikan (imbasnya nanti juga ke orangtua yang melihat keseriusan kita dalam melayani anak-anak mereka). Anak-anak mungkin tidak dapat mengekspresikan sukacita mereka ketika melihat kita datang mengunjungi mereka atau dalam tingkah laku kita yang menunjukkan kasih kepada mereka, namun percayalah, setiap gerak gerik kita akan diamati oleh anak-anak kita, sadar atau tidak sadar. Anak-anak adalah mesin foto copy yang paling canggih di seluruh dunia. Di dalam zaman di mana mereka sudah kehilangan figur rohani yang ideal, maka penting sekali kita menumbuhkembangkan kembali figur yang ideal di dalam diri kita, agar mereka tidak mencari figur di luar kekristenan. Ajarkan mereka untuk melakukan firman Tuhan seperti kita!


II. Penutup

Luther menekankan bahwa cara pendidikan anak-anak dan kaum muda hendaknyalah dengan cara sederhana, ramah, gembira dan bergurau (Lihat uraian Luther tentang Hukum Taurat II). Itu artinya menghindari segala bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik (memukul, menjewer dan sebagainya) dan kekerasan psikologis: mengancam, menakut-nakuti, menghina, merendahkan dan sebagainya).
"Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu:Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 18:10). Sebagai guru sekolah minggu, kita dapat memberikan nasihat-nasihat atau pertolongan kepada anak agar kekerasan yang terjadi pada dirinya tidak membawa dampak negatif yang dalam bagi kehidupannya. Gereja adalah tempat persekutuan orang beriman, merupakan kehidupan brsama yang berpusat pada Yesus Kristus, sebagai saluran untuk menyatakan kehendak Allah, merupakan lembaga dasar di mana hidup bersama sebagai anak-anak Allah diwujudkan. Gereja juga seharusnya sebagai tempat untuk mendidik, membimbing seluruh anggota jemaat termasuk anak sekolah minggu untuk menjadi orang yang dewasa dalam iman, pengharapan dan kasih, yang dimulai dari usia skolah minggu hingga usia dewasa, yang dilakukan secara terus menerus tidak putus-putusnya. Dasar iman Kristen adalah kasih, ini adalah kebenaran. Dan inti hukum taurat adalah kasih dalam dimensi vertical dan horizontal (Matius 22: 37-39). Anak-anak Allah dipanggil untuk menghayati kebenaran itu.




DAFTAR PUSTAKA

Kamus Besar Bahasa Indonesi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988). Hlm.425

Sihombing Justin, Kekerasan Terhadap Masyarakat Marginal, Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2005

Perkantas, terjemahan, Langkah-langkah Pertumbuhan Iman, Jakarta: Perkantas, 1997

unionism.wordpress.com/2008/09/05/kekerasan-ditempat-kerja/ - 32k -, diakses pada Selasa 19 mei 2009 pukul 13:23.

www.sabda.org/publikasi/e-binaanak/288/ - 33k, diakses pada Selasa 19 mei 2009 pukul 13:29.

hkbps.com/?p=138 - 42k, diakses pada Selasa 19 mei 2009 pukul 14.02

1 komentar:

  1. semoga artikel nya bermanfaat ya kak bagi banyak orang..
    numpang post ya kak GAME BARU

    BalasHapus