Rabu, 11 November 2009

Kejadian 39:1-23

Kejadian 39:1-23
Diakui atau tidak, setiap manusia punya karakter yang berbeda. Setiap manusia dijadikan unik dan berbeda satu dengan yang lainnya, termasuk juga hidup di lingkungan yang berbeda, dididik dengan cara yang berbeda, dengan orang tua yang berbeda, sekolah yang berbeda, pergaulan yang berbeda bahkan tahun hidup yang berbeda. Tanpa disadari, segala sesuatu tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi pembentukkan bahkan yang ikut serta membentuk karakter tiap manusia, baik itu karakter baik maupun karakter yang kurang baik. (karena pada dasarnya manusia diciptakan baik adanya, hanya saja ketika manusia memilih untuk melakukan apa yang dilarang Allah, karakter baik itu ‘tercemar’)
Namun sebelumnya tentu kita perlu mengetahui apa sesungguhnya arti dari karakter itu sendiri? Orang menyebut karakter sebagai watak, sifat, perangai ataupun ciri. Namun nampaknya kartakter tidak hanya terbatas pada sifat saja, karena ternyata karakter bukan semata-mata bawaan genetik yang tidak dapat diubah. Misalnya dengan mengatakan: “dari sananya Bapak A adalah bapak yang pemarah, maka sepanjang usianya ia akan menjadi orang yang pemarah, tidak mungkin berubah!!” salah besar!! Karena karakter tidak dibentuk semata-mata oleh gen, namun oleh pengalaman, oleh lingkungan, oleh pengalaman manis dan pahit, bahkan oleh tekad manusia itu sendiri.
Memang benar ada karakter yang sifatnya menetap dalam diri manusia, yang dapat dikatakan sebagai karakter dasar. Namun bukan berarti tidak dapat dibentuk. Ada istilah “ kita ini adalah lempung di tangan Yang Maha” benar adanya.... apapun karakter dasar kita, kita ini adalah lempung yang tetap dapat dibentuk, tergantung bagaimana, berapa lama dan siapa yang membentuknya.
Pembentukan karakter sesungguhnya berkaitan dengan apa yang sering disebut orang sebagai pembunuhan karakter. Lho, mengapa pembunuhan? Karena ternyata baik lingkungan, pengalaman, orang tua, dan apapun yang disebut seagai faktor pembentukan tadi sekaligus juga dapat menjadi faktor yang membunuh karakter. Air misalnya, dalam kacamata teologi dan hubungannya dengan alam memiliki sifat untuk membersihkan, membasuh, dan mencuci. (itulah juga alasan kita membaptis menggunakan air dan bukan pasir atau lumpur) namun sifat dasar air yang seharusnya dapat membersihkan dan memasuh itu tercemar oleh lingkungan, sehingga secara tidak langsung karakter baik dari air tersebut dirusak bahkan dibunuh oleh lingkungan, oleh manusia. Mencuci baju dengan air yang tercemar, tidak akan dapat membuat baju yang kita cuci itu menjadi bersih.
Ira Indrawardana, seorang sahabat dan dosen antropologi di Universitas Padjadjaran memiliki definisi sendiri tentang pembunuhan karakter ini yaitu: “penistaan, jugdement, stereotipe negatif yang diperluas untuk mendiskriditkan sekelompok atau seseorang dalam bentuk agitasi atau kekerasan (violence) oleh hukum dan lain sebagainya.” Tentunya pembunuhan karakter menjadikan manusia tidak mampu melihat hidup sebagai sesuatu yang layak untuk diperjuangkan, dihargai, dipergunakan dengan sebaik-baiknya atau ketika hidup menjadikan manusia semakin terbatas, dan tidak mampu menjadi wadah bagi setiap individu untuk berekspresi serta mengembangkan diri dengan kebebasan yang bertanggung jawab. Itulah yang disebutnya “KEMATIAN DALAM HIDUP”
Kini, bagaimana kita dapat mengaitkan perbincangan kita di atas tadi dengan kisah Yusuf dari Kejadian 39: 1-23? Bagaimana karakter Yusuf dibentuk? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, baiklah kita mencari tahu bagaimana Yusuf bisa menjadi pembesar di Mesir. Yusuf adalah anak kesayangan Yakub, karena Yusuf adalah anak yang ia peroleh di masa tuanya. Karena begitu kasihnya kepada Yusuf, Yakub membuat jubah yang maha indah baginya. Dan tentunya hal tersebut membuat saudara-saudara Yusuf iri kepadanya.
Hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah, secara psikologis, Yakub sebagai ayah membuat Yusuf menjadi orang yang besar di antara saudara-saudaranya. Ia menjadi lebih berharga, lebih penting dan lebih dikasihi. Secara tidak langsung ini membuat Yusuf juga menjadi orang yang besar, berpikiran besar, berjiwa besar, dan berperilaku besar. Walaupun suatu ketika sang ayah menegurnya, karena mimpinya, tapi sang ayah tetap memperlakukannya sebagai pembesar, dengan menyimpan perkara itu di dalam hatinya (Kej 37:10). Pertanyaannya adalah, mengapa itu semua tidak membuatnya menjadi orang yang sombong?
Kedua, Yusuf membiarkan dirinya dijual ke tanah Mesir. Ia tidak memberontak, tidak bertanya, tidak marah dan bahkan cenderung tidak melakukan apa-apa padahal ia dididik oleh sang ayah untuk menjadi besar. Ia mendapati dirinya diperlakukan dengan tidak adil, didiskriminasikan, dilukai, ditekan namun tidak menjadikan segala sesuatu itu menjadi batu sandungan, mengapa itu bisa terjadi?
Ketiga, melalui bacaan kita kali ini, Yusuf juga mendapat perlakuan tidak adil dari Potifar. Ia mengalami apa yang disebut Ira Indrawardana sebagai agitasi (hasutan) dan kekerasan oleh hukum. Ia harus menerima hukuman atas apa yang tidak dilakukannya. Lebih dari itu dia dihukum karena ia mempertahankan apa yang benar. Toh ia pun tidak mencoba untuk membela dirinya., sebaliknya ia taat dan setia, menerima dengan hati yang lapang, bahkan tetap melakukan yang terbaik yang dapat ia lakukan sebagai manusia terbatas. Mengapa?
Bayangkan bila kita mengalami apa yang Yusuf alami! Bila sejak kecil kita diperlakukan dengan begitu istimewa, begitu dihargai, dan dibuat besar, mungkinkah kita bisa berlaku seperti Yusuf berlaku? Atau jangan-jangan kita akan tumbuh menjadi pribadi yang arogan, pribadi yang sombong dan egois, memandang diri yang paling benar dan paling berharga dan memandang orang lain dengan sebelah mata?
Ketika kita dijual oleh saudara-saudara kita, dizolimi, dibuat merana, dibenci bahkan ‘dibunuh’, mungkinkan kita dapat berlaku seperti Yusuf yang dengan tangan terbuka menyambut, memeluk, dan senantiasa mengasihi mereka bukan dengan cinta yang pura-pura namun dengan cinta yang ikhlas. Atau kita akan memilih menajdi manusia yang memiliki dendam kesumat yang tidak mau memperbaiki relasi, bahkan berusaha untuk membalas segala sesuatu yang telah menimpa hidup kita?
Dan ketika kita diperlakukan dengan tidak adil, dengan dibiarkan menanggung apa yang menurut kita tidak layak kita terima, dihujat, difitnah, dizolimi, apakah kita akan tetap bersikap tenang seperti Yusuf, menerima dengan jiwa besar? Atau kita akan menuntut balik, mengajukan banding taupun kasasi, seperti yang dilakukan oleh sebagian besar manusia ketika haknya diinjak-injak?
Yusuf yang diberikan kuasa dan kepercayaan begitu rupa dari Potifar, SEBAGAI PENGUASA di rumahnya bisa saja menggunakan kesempatan untuk tidur dan bersetubuh dengan isteri Potifar. Tapi hal tersebut tidak ia lakukan, bukan karena kuasa yang dimilikinya tidak termasuk untuk menguasai isteri Potifar, namun karena ia tidak mau kelakukan apa yang dianggapnya kejahatan besar dan dosa kepada Allah (39:9). Inilah sesungguhnya yang menjadi jawaban atas 3 pertanyaan tentang Yusuf di atas. Yusuf adalah manusia biasa yang punya kelemahan dan kekurangan. Dia bukan semata-mata seorang pemuda gagah yang memiliki karakter tabah, sabar, tekun dan senantiasa berpikir positif. Ia melakukan itu semua karena ia mengenal Allah, dan bukan semata-mata karena dirinya sendiri. JADI SEBENARNYA FAKTOR-FAKTOR DI ATAS PERLU DILENGKAPI LAGI DENGAN SATU FAKTOR YANG PALING PENTING DAN PALING UTAMA DALAM PEMBENTUKKAN KARAKTER MANUSIA SESUNGGUHNYA, YAITU: ALLAH!!!
Tidak dapat dipungkiri, bahwa sesungguhnya Allah memiliki peran yang luar biasa dalam diri manusia dalam membentuk karakternya masing-masing. Pengalaman boleh pahit, orang tua boleh kejam, lingkungan boleh mendorong manusia ke jalan yang keliru, namun Allah yang menjadikan segala sesuatu itu menjadi kebaikan bagi kita. (Kej 50:20). Setiap manusia memiliki karakter Allah itulah makna segambar dan serupa dengan Allah, hanya saja manusia tidak bisa mengisolasi diri dari lingkungan dan pengalaman yang dapat baik secara langsung ataupun perlahan membunuh karakter Allah itu dalam diri manusia, sehingga suatu waktu manusia menemukan karakter Allah telah terbunuh dan mati dalam dirinya.
Begitu juga dengan seorang Yusuf. Ia bisa menjadi seorang pembunuh, pemberontak yang membenci keluarganya... atau penguasa yang tidak berprikemanusiaan, yang akhirnya juga dapat menjadi seorang pembunuh karakter atas mereka yang dikuasainya, oleh karena pengalaman pahit dan luka batin yang dideritanya. Namun itu semua tidak dipilihnya. Ia memilih untuk tetap memelihara karakter baik yang telah Allah tanamkan dalam setiap individu.. tentunya ketika kita menyadari bahwa setiap manusia sesungguhnya diciptakan dengan karakter Allah, bukan berarti karakter itu akan tetap ada dan nampak dalam kehidupan tiap individu. Semuanya itu tergantung, tergantung pada apa? tergantung apakah kita mau memelihara karakter itu dan mengikutsertakan Allah dalam rangka membentuk karakter yang sungguh sesuai dengan kehendakNya, bukan kehendak kita.
Karakter kita tidak hanya dibentuk oleh manusia, oleh keadaan dan situasi dimana kita tumbuh kembang, tapi juga oleh Tuhan yang membentuk kita di rahim ibu kita. Masalahnya adalah, sadarkah kita bahwa Tuhan punya andil, dan oleh sebab itu kita memberikan Yang Maha itu kesempatan untuk turut serta? Ataukah kita menutup rapat kesempatan itu dan membiarkan segala sesuatu yang duniawi membentuk jati diri kita? Memang tidak semua yang bersifat duniawi itu buruk, karena Alalh juga menciptakan dunia ini pada awalnya dalam kesempurnaan. Tapi bukankah manusia telah merusaknya? Menjadikan segala sesuatu yang sempurna adanya menjadi cacat, membunuh karakter yang sempurna dalam setiap ciptaan Allah?
Di atas segala sesuatu yang manusia lakukan untuk merusak karakter Allah, Allah tetap memelihara karakter dan citra diriNya di dalam manusia. Ia tidak membiarkan citraNya mati karena pembunuhan yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu karakter Allah dalam diri manusia tidak pernah benar-benar mati. Mungkin sekarat, mungkin mati suri, tapi tidak pernah benar-benar mati dan lenyap dari kehidupan manusia. Hanya saja kini pertanyaan bagi kita semua, sejauh apa kita membiarkan Allah menghidupkan kembali karakterNya dalam diri kita, seperti yang telah Yusuf lakukan dalam hidupnya yang tidak mudah, tidak nyaman, namun tetap berada dalam naungan dan berkat Tuhan.?
Pembentukkan karakter tidak hanya tergantung dari segala sesuatu yang duniawi ataupun dari Allah, tapi dari manusia itu sendiri. Mampukah, atau lebih tepatnya maukah ia memilih yang terbaik?





SUMPAH DEH!!!
Mat 5 :33-37
Tujuan:
1. remaja memiliki pengetahuan tentang asal mula pemakaian kata sumpah
2. remaja mengetahui apakah sumpah boleh tau tidak dilakukan oleh remaja Kristen saat ini
3. remaja memiliki pemahaman yang jelas tentang makna sumpah
Perkataan “sumpah deh” telah menjadi perkataan yang sangat biasa kita dengar diucapkan oleh banyak orang termasuk remaja. Bahkan kata sumpah sering kali dijadikan pernyataan untuk menyatakan suatu kebohongan agar orang lain yang mendengarnya percaya. Dan akan lebih percaya lagi ketika kata sumpah itu disandingkan dengan kata Tuhan atau Allah. Waduh... bahaya jadinya, kenapa ? karena banyak dari kita yang menggunakan kata sumpah tanpa mengetahui dengan benar apa maknanya dan dari mana asal usulnya. Padahal banyak sekali hal yang buruk dikaitkan dengan kata sumpah. Misalnya, teman-teman pernah mendengar sumpah pocong? Di film-film religi dewasa ini sumpah pocong sering kali didengungkan sebagai suatu cara pembenaran. Ternyata sumpah pocong bukan hanya ada di sinetron kita loh, masih banyak daerah di Indonesia yang menggunakan sumpah pocong untuk menyelesaikan masalah. Misalnya perselingkuhan, pencurian, penipuan dan lain sebagainya. Sumpah pocong dilakukan dengan cara memocongkan (dibalut kain kafan) orang yang ingin bersumpah, lalu ia bersumpah di hadapan al-quran, sambil dibacakan ayat-ayat suci al-quran oleh ustad yang melayani sumpah pocong tersebut. Bila benar orang itu berbohong maka ia harus rela menjadi pocong ketika ia mati nantinya. Nah itulah maksa sesunguhnya dari sumpah: yaitu ketika orang yang bersumpah benar-benar mau menanggung apapun yang terjadi bila ia sungguh mengatakan kebohongan.
KBBI mendefinisikan kata sumpah menjadi: pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci, pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar; namun lebih dari itu KBBI juga mendefinisikan kata sumpah sebagai kata-kata yang buruk, tulah, kutuk.
Sumpah sendiri sebenarnya telah dikenal dari masa nenek moyang kita Abraham. Kata sumpah berasal dari bahasa (Ibr: syawbah dan ala; Yun: horkos) Ala yang paling kuat, artinya pengutukan apabila dia tidak mengatakan kebenaran. Sumpah sendiri adalah bagian dari kebudayaan orang Israel: dimana nama Allah dilibatkan dan hukuman ilahi dinantikan apabila kebenaran dihianati dan kebiasaan ini berlanjut hingga masa perjanjian Baru.
Sumpah adalah kutukan atas orang yang melanggar kata katanya sendiri (1 Sam 19:6)atau bila ia tidak mengatakan kebenaran. Gagasan memohon kutuk atas diri sendiri, telah mendorong beberapa ahli mengemukakan, bahwa bila seorang Ibrani bersumpah atas nama Alah, maka ia memberikan kebebasan kepada Allah untuk bertindak atau mempercayakan kepada Allah tugas bertindak terhadap seorang yang melakukan sumpah atau kesaksian palsu. Orang Israel dilarang mengucapkan sumpah demi dewa-dewa. Yesus sendiri mengajarkan bahwa sumpah pada hakekatnya mengikat. Namun dalam kerajaan Allah sumpah tidak lagi dibutuhkan karena seharusnya percakapan sehari-hari orang Kristen haruslah sama sucinya dengan sumpahnya.
Alkitab mencatatat Allah sendiri juga mengikatkan diri dengan sumpah, namun Ia bersumpah atas nama dirinya sendiri dan bukan orang lain karena tidak ada seorangpun yang lebih tinggi dari Allah. Dalam sumpah yang digunakan haruslah sosok yang lebih tinggi yang bisa diberikan kewenangan. Tapi dalam khotbah di bukit, Yesus menjelaskan bahwa dalam kerajaan Allah kebijakan semacam itu membatalkan hubungan antara kebenaran dan kasih. Apa maksudnya tuh? Coba kita lihat kembali bacaan kita hari ini, apa yang bisa kita pelajari bersama dari Matius 5:33-37:
• ay 33. "Kalian tahu bahwa pada nenek moyang kita terdapat ajaran seperti ini: jangan mungkir janji. Apa yang sudah kaujanjikan dengan sumpah di hadapan Allah, harus engkau melakukannya. Hal pertama yang bias kita pelajari adalah sebenarnya sumpah itu tidak dibutuhkan bagi anak-anak Allah. Karena, sudah seharusnya, sebagai anak-anak Allah kita melakukan apa yang benar di hadapan Allah, dalam hal ini berbicara jujur, jangan mungkir/ jangan berbelok, mengelak, berbohong. Selain itu sebagai anak-anak Allah kita, bila kita berjanji untuk melakukan sesuatu, maka haruslah kita melakukannya karena kita mencintai Allah dan bukan karena terpaksa / karena terdesak sumpah (janji)
• oleh karena itu pada ayat selanjutnya 34-36 Yesus berkata:” tetapi sekarang Aku berkata kepadamu: jangan bersumpah sama sekali, baik demi langit, sebab langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, sebab bumi adalah alas kaki-Nya; atau demi Yerusalem, sebab itulah kota Raja besar. Jangan juga bersumpah demi kepalamu, sebab engkau sendiri tidak dapat membuat rambutmu menjadi putih atau hitam, biar hanya sehelai.” Kita sama sekali tidak berhak bersumpah atas apapun apalagi atas diri kita sendiri. Misalnya ada yang berkata :”biarin gue kesamber geledek deh atau biar gue ketabrak bajaj atau biar gue miskin deh. Kita sebenarnya tidak berhak mengatakan itu, karena hidup kita ini semata-mata bukan hanya milik kita sendiri, tapi terutama milik Allah. Begitu pula ketika kita bersumpah atas nama Tuhan: “Demi Tuhan deh, sumpah serius deh demi Yesus, demi Allah, gue ga bohong!!!”. Dengan mengatakan sumpah atas nama Tuhan, maka sama saja kita menantang Tuhan untuk memberi kita hukuman bila kita salah dan sebaliknya, bila tidak maka Engkau harus membela saya, membenarkan saya.
Teman-teman sesungguhnya kita sama sekali tidak berhak menentukan hukuman apa yang pantas bagi kita. Apa yang telah Tuhan lakukan, termasuk membenarkan kita dengan kematianNya di kayu salib, bukan karena kita memang layak dibenarkan, bukan juga karena kita memang benar di hadapanNya. Tapi karena Ia sungguh mengasihi kita. Apa sih dasar yang biasa kita gunakan di dunia ini untuk menyatakan ini benar dan ini salah? Tidak ada kebenaran absolute di dunia ini. Karena kebenaran itu hanyalah milik Tuhan seorang. Dan tanpa kita minta, dan tantang Tuhan untuk membenarkan kita Tuhan sudah membenarkan kita sebelum kita berbuat dosa.
Kini apa yang seharusnya kita lakukan sebagai anak-anak Allah:
1. Belajar untuk berkata jujur: Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat. Gampang? Susah banget. Tapi kalian lebih suka dibohongi atau sakit karena kejujuran? misalnya dengan orang tua atau teman, apakah kalian suka dibohongi? Kaka rasa ga ada seorangpun di dunia yang suka dibohongi, kalo masih dalam keadaan waras!!! Ya karena hanya orang yang ga waras yang suka dibohongi lihat saja ke RSJ Grogol. Dan bila kita sadar bahwa kita tidak mau dibohongi maka berkatalah jujur seorang kepada yang lain!!
2. karena untuk berkata jujur itu juga bukan hal yang mudah maka kita harus mencari dasar yang tepat agar kita dapat melakukannya bukan karena paksaan tapi dengan kesungguhan. Apa dasar yang tepat? Kasih kita kepada Allah. Kita selalu ingin membahagiakan orang yang kita kasihi kan, baik itu orang tua, sahabat, pacar dan lain sebagainya. Oleh karena itu bila kita sungguh mengasihi Allah maka kita akan melakukan apa yang Ia inginkan untuk kita lakukan termasuk untuk jujur. Bila orang mengatakan, beribu gunung akan kudaki, sedalam apapun laut akan kuselami, kepada kekasihnya, apalagi buat Tuhan kan yang sudah pasti mencintai kita dengan tulus dan setia.
3. MASALAHNYA ADALAH kita kurang mencintai Tuhan, bagaimana caranya untuk da[pat mencintai Tuhan. Tentunya mencintai Tuhan, bagi sebagian kita tidak semudah lagu “Jatuh Cinta” karena Tuhan ga kelihatan. Jadi caranya adalah coba renungkan apa yang sudah Tuhan lakukan bagi kita? Dia mati karena cintaNya , karena bagi dia cintaNya kepada kita sanggup membunuh Dia di kayu salib bagi kita. Beta[pa bahagianya kita seharusnya ada Tuhan yang mau mati bagi kita, mau mengampuni dan membenarkan kita bahkan ketika kita masih melakukan dosa.
4. Oki yang terakhir dan yang terpenting adalah mengandalkan kekuatan Tuhan dalam melakukan perintahNya Karena daging lemah, walaupun Roh memang penurut. Minta Tuhan memelihara hati dan pikiran kita.







Narsisisme
Matius 22:34-40/ 2 Sam 14:25-26, 18:9-10
Apa sih arti narsis?
Dari mana datangnya narsis?
Narsis datang dari legenda Yunani tentang seorang pwmuda yang bernama NARSICUS yang terkenal tampan sekali. Suatu kali Narsicus sedang berjalan jalan di hutan, di pinggiran sungai. Saat ia sedang kehausan ia menghampiri bibir sungai lalu melihat ada sesosok pria tampan yang dipantulkan oleh sungai itu. Ia melihat bahwa laki-laki itu sangatlah elok rupanya. Setiap ia minum di bibir sungai, ia selalu melihat laki-laki yang sama juga berada disana menatapnya. Ia sendiri tidak tahu bahwa laki-laki yang dipantulkan di suangai itu adalah dirinya sendiri. Semakin hari Narsicus semakin jatuh cinta kepada sosok tersebut sehingga ia benar-benar ingin bertemu dengan sosok tersebut. Akhirnya, saking cintannya kepada bayangan dirinya yang terpantul di permukaan sungai itu, Narsicus menceburkan diri ke dalam sungai untuk mencari siapa gerangan laki-laki tampan itu? Dan akhirnya ia mati tenggelam. Dari namanya akhirnya timbulah istilah narsis.
Namun sebenarnya narsis itu apa sih? KBBI menuliskan arti dari narsisisme sebagai, rasa cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan (lebayyyy). Atau dengan kata lain narsis adalah perilaku membanggakan diri/ menganggap diri sempurna.
Biasanya narsis ini dilakukan untuk mendapatkan perhatian lebih dari lingkungan atau karena ingin menutupi kelemahan diri. Selain itu orang yang memiliki lingkungan tumbuh yang selalu mengucilkan dirinya, atau selalu menganggap dirinya rendah dan tidak berguna, dapat juga menjadi orang-orang yang narsis pada masa remaja atau pemudanya. Oleh karena itu sifat narsis biasanya keluar pada masa remaja. Kenapa?
1. karena remaja adalah masa dimana seseorang butuh pengakuan di dalam hidupnya. Dari yang biasanya cuma dianggap anak ingusan yang tidak punya hak suara di rumah maupun di masyarakat, ingin membuktikan dirinya eksis bagi komunitas.
2. Karena masa remaja adalah masa pembentukkan jati diri. Di masa ini seseorang akan menentukan ia mau jadi apa, dikenal sebagai orang yang bagaimana. Misalnya dikenal sebagai orang yang pandai bermain musik atau pandai bernyanyi.
Narsis ini ternyata juga dapat timbul dalam berbagai aspek kehidupan loh, termasuk kehidupan beragama. Pernah ga kita menjadi remaja yang narsis terhadap agama dan kepercayaan yang kita anut. Misalanya menganggap diri paling benar, paling diberkati, paling berhak mendapatkan keselamatan, dan lain sebagainya… wah narsis yang begitu juga bahaya loh, jadi ternyata narsis bukan hanya terjadi dalam pribadi namun juga dapat terjadi dalam suatu kelompok, yah salah satunya adalah kelompok keagamaan.
Ciri-ciri orang yang narsis adalah:
1. merasa lebih penting dan lebih besar dari orang lain: tentu bukan karena ia memang lebih penting atau lebih besar tapi karena ia memang ingin orang lain memandang, memuji dia.
2. memiliki fantasi setinggi langit. Bukan berarti kita tidak boleh memiliki cita-cita setinggi langit, yang membahayakan ketika kita mencita-citakan untuk sesuatu yang benar-benar mustahil terjadi.
3. merasa memiliki status lebih tinggi dari orang lain. Lebih cantik, lebih ganteng
4. butuh pengakuan yang berlebihan
5. cenderung manipulatif dan mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri
6. nggak bisa berempati dengan orang lain
7. selalu arogan, atau mementingkan kepentingan atau keinginannya sendiri, dan menganggap kepentingan yang lain tidak perlu diperhatikan.
Sebenarnya mencintai diri sendiri itu salah ga sih?
Matius 22: 39 mengatakan bahwa mencintai diri itu ga salah. Karena mencintai diri adalah sesuatu yang manusiawi dan wajar. Orang yang tidak bisa mencintai dirinya sendiri, tidak akan pernah dapat mencintai orang lain. Kenapa? Karena ia sebenarnya tidak tahu bagimana rasanya dicintai dan bagaimana harus mencintai. Yesus mengatakan: “ kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” dan bukan “kasihilah dirimu sendiri seperti engkau mengasihi sesama manusia”. Oleh karena itu menjadi Sesutu yang wajar ketika manusia belajar mencintai dirinya sendiri. Dan setiap orang harus mencintai dirinya sendiri. Mencintai diri disini bukan berarti egois, bukan juga brarti mengutamakan diri sendiri, pokoknya gue…. Yang lain mah belakangan aja...
Cinta disini mengunakan kata agapeis, yang artinya unconditional love atau cinta yang tanpa pamrih, cinta yang diberikan tanpa mengenal kondisi apapun termasuk ketika kita mencintai diri kita sendiri. Mencintai diri berarti:
1. menerima diri sendiri apa adanya, menerima diri dengan segala kelemahan dan kelebihan.
2. Menerima disini juga bukan berarti menerima yang pasif, ya udah gini aja wong uda diciptainnya gini?, bukan menerima yang pesimis. Tapi menerima yang aktif yaitu terus mengembangkan diri mengembangkan kelebihan yang Tuhan kasih untuk kita gunakan.
3. Mencintai diri juga terutama melihat diri sebagai sebuah ciptaan yang utuh dan yang berharga.
Dan bila kita sudah bisa mencintai diri dengan ‘benar’ maka kita akan mampu juga mencintai sesama manusia dengan benar, yaitu dengan menerima semua manusia dengan segala kelemahan dan kelebihannya, menerima perkembangan diri dari sesama kita, dan tentunya mencintai mereka sebagai ciptaan Allah yang utuh dan berharga juga dimata Allah.
Narsis menjadi sesuatu yang salah karena
1. yang kita lakukan bukan pada batas sewajarnya, namun berlebihan. Segala sesuatu yang berlebihan tidak akan membawa hal yang baik bagi kita. Sama seperti ketika kita makan atau minum kebanyakan. Atau minum obat kebanyakan dan tidak mengikuti dosis yang telah ditentukan oleh dokter bagi kita untuk diminum. Mencintai diri adalah baik adanya. Tapi bila itu dilakukan secara berlebihan maka akan menjadi hal yang buruk bagi diri kita. Kita menjadi orang-orang yang tidak tahan kritik, yang selalu melihat kritik sebagai sesuatu yang membahayakan dan merusak diri kita, tidak menyadari bahwa kita memiliki kelemahan yang pada akhirnya dapat menghancurkan kita.
2. saat kita mencintai diri dengan berlebihan maka cinta itu membuat kita terpaut hanya dengan diri dan kebutuhan diri sendiri. Kita menjadi orang yang lupa dengan keberadaan orang lain apalagi Tuhan. Sama yang kelihatan aja susah untuk sayang apalagi sama yang ga keliatan kaya Tuhan?
Nah sekarang gimana caranya supaya kita ga narsis?
1. bersyukur. Maz 139:14 “ Aku bersyukur kepadaMu karena kejadianku dashyat dan ajaib, ajaib apa yang Kau buat dan jiwaku benar-benar menyadarinya” Yups kita patut bersyukur dengan segala yang telah Tuhan jadikan dalam diri kita. Baik itu dengan hidung yang pesek, mata yang sipit, itu semua baik loh di hadapan Tuhan, sempurna. Kita tidak menjadi orang yang tidak berharga di mata Tuhan ketika kita memiliki hidup pesek ata mata sipit kan?
2. berbesar hati. Berbesar hati bila memang ada orang lain yang munkin lebih dari kita. Bukan berarti kita menjadi tidak berharga ketika ada orang yang lebih bisa mengerjakan matematika dibanding kita. Setiap orang dijadikan unik dan hanya satu. Saya tidak bisa berkata bahwa suatu saat saya akan menggantikan seorang Eka Darmaputera, karena memang saya bukan dia. Saya adalah saya yang Tuhan jadikan memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri. Tentu berbesar hati disini bukan nrimo aja tanpa mengembangkan diri seperti orangt yang diberikan 1 talenta, yang pada akhiranya mengubur talentanya itu.
3. berkaca diri, alias jangan takabur merasa diri mulia, angkuh, sombong. Kita memang sempurna adanya. Tuhan menjadikan kita dengan sangat baik. Tapi ingat kita masih dalam kuasa daging! Dan daging itu lemah! Jadi kita sebagai manusia yang sempurna di hadapan ALLAH tetaplah manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Itu yang membuat kita sama sama dikatakan manusia dan bukan dewa atau Tuhan. Disitulah Tuhan menuntut kita untuk dapat mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri.
Dan tentunya jangan kita melupakan Tuhan. Karena mengasihi Tuhan Allah kita adalah yang pertama dan utama. Karena Tuhan menjadikan kita luar biasa. Tuhan yang memberikan kita kesempatan untuk menjadi manusia yang luar biasa dalam hidup kita. Oleh karena itu mengasihi Tuhan sudah seharusnya kita letakkan di tempat yang paling utama dalam kehidupan kita. Amin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar