Kamis, 29 Oktober 2009

Etika Budaya Batak

Etika Budaya Batak
“Dalihan Na Tolu”

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di Indonesia. Suku Batak berasal dari Pulau Sumatera. Suku Batak itu sendiri terbagi dalam enam suku yaitu suku Batak Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Angkola, dan suku Batak Mandailing. Pengertian Batak menurut J. Warneck, batak berarti ‘penunggang kuda yang lincah’ akan tetapi menurut H.N. Van der Tuuk, batak berarti ‘kafir’. Sehingga sampai detik ini pengertian Batak sampai sekarang belum dapat di jelaskan secara pasti dan memuaskan. Suku Batak memiliki Adat istiadat, Bahasa, Nyanyian, Etika dan Filsafat. Ada satu kutipan yang bertuliskan, “ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya, Suku yang besar adalah suku yang menghargai adat dan budayanya.” Akan tetapi untuk menyelesaikan Ujian Tengah Semester pada mata kuliah Etika Kristiani lebih fokus membahas mengenai Etika Dalihan Natolu.
1.2 Perumusan Masalah.
Perumusan atau pembatasan masalah yang diangakat oleh penulis adalah mengenai etika etnis Batak. Dalam tulisan ini, penulis menjabarkan terlebih dahulu mengenai Asal mula Suku Batak. Setelah itu penulis kemudian menjabarkan isi dari etika etnis Batak beserta dengan unsur-unsur dan kepercyaan dalam suku Batak


1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan.
Sebagai suku Batak ternyata masih banyak yang belum mengetahui asal-usul suku Batak dan belum mengetahui bahwa sebelum agama Kristen masuk ke tanah Batak, ternyata suku Batak sudah memiliki sistem kepercayaan yang disebut Agama Suku dan yang terutama belum mengetahui Etika dari budaya Batak, Dalihan Na tolu seringkali disebut-sebutkan akan tetapi banyak yang belum mengetahui unsur-unsur etika Dalihan Na Tolu tersebut.
Oleh sebab itu dalam tulisan ini, penulis berharap bahwa tulisan ini dapat sebagai tambahan informasi dan dapat bermanfaat khususnya suku Batak untuk mengetahui asal-usul suku Batak, walaupun tidak menutup kemungkinan pengetahuan bagi etnis lainnya.

2. Isi
2.1 Asal Mula Suku Batak.
Menurut mitologi Batak di sebelah barat-laut Danau Toba terdapat gunung Pusuk Buhit yang diyakini sebagai tempat asal suku Batak. Etnis Batak percaya kepada Allah Yang Esa, yang di sebut Mulajadi Na Bolon, yang menjadi awal dari segala yang ada; Dialah Yang Mahatinggi, Allah yang oleh suku Batak dipercayai sebagai Allah dari segala ilah yang menjadikan langit, bumi, dan segala isinya. Suku Batak juga meyakini Mula Jadi Na Bolon berkuasa menjadikan yang ada dari yang tiada dan suku Batak meyakini bahwa singgasana Mulajadi Na Bolon berada di atas langit ketujuh. Keyakinan tersebut dapat diketahui pada saat upacara Martonggo (memanggil sang ilah) yang berbunyi, “Daompung Debata na tolu, na tolu suhu, na tolu harajaon sian langit na pitu tindi, sian ombun na pitu lapis”, yang artinya: “Allah Yang Maha Agung, yang tiga rupa, yang menguasai tiga kehidupan, yang berkuasa atas tiga kerajaan yang terdapat di langit yang ketujuh tingkat dan di atas awan-awan yang terdiri dari tujuh lapis”.
Menurut sejarah, suku Batak mengenal burung layang-layang berkedudukan seperti kurir atau penghubung antara langit dan bumi.Boru Deak-Parujur adalah putri dari dewa yang berada di bumi. Mula Jadi Na Bolon menyuruh burung layang-layang tersebut untuk menyerahkan lodong (poting; bambu tabung air) berisi benih kepada Boru Deak-Parujur tersebut. Setelah itu burung layang-layang menyuruh Boru Deak-Parujur agar menenun sehelai ulos ragidup (kain adat Batak) dan melilitkan ke lodong tersebut. Setelah Boru Deak-Parujur melakukan seperti yang di perintahkan burung layang-layang tersebut akhirnya muncullah seorang pria yang di sebut Tuan Mulana (yang awal). Sejak saat itu Tuan Mulana dan Boru Deak-Parujur diyakini sebagai nenek-moyang orang Batak di atas dunia ini.
2.2 Arti Kebudayaan Batak
Yang dimaksud dengan kebudayaan Batak, yaitu seluruh nilai-nilai kehidupan suku bangsa Batak di waktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya. Refleksi dari nilai-nilai kehidupan tersebut menjadi suatu cirri yang khas bagi suku bangsa Batak yakni : Keyakinan dan kepercayaan bahwa ada Maha Pencipta sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta segala sesuatu isinya, termasuk langit dan bumi.
Untuk mewujudkan keseimbangan dalam menjalankan nilai-nilai kehidupan sebagai mahluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, Tuhan Maha Pencipta sebagai titik orientasi sipritualnya, alam lingkungan sebagai objek integritasnya suku bangsa Batak telah dinaungi Patik.
Patik berfungsi sebagai batasan tatanan kehidupan untuk mencapai nilai-nilai kebenaran. Patik ditandai dengan kata Unang( Jangan), Tongka (Pantang), Sotung (Jangan Sampai), Dang Jadi (Tidak Bisa).
Sebagai akibat dari penyimpangan tatanan kehidupan yang dimaksud dibuatlah Uhum atau Hukum. Uhum (Hukum) ditandai oleh kata; Aut (jikalau), Duru (Tersingkir),
Sala (Bersalah), Baliksa (Kecuali), Hinorhon (Akibat), Laos (lewat batas), Dando (Denda), Tolon (Sumpah), Bura (Serapah), dsb.
Di dalam menjalankan kehidupannya, suku bangsa Batak terutama interaksinya antar sesama manusia dibuatlah nilai-nilai, etika maupun estetika yang dinamai Adat. Suku bangsa Batak mempunyai sistim kekerabatan yang dikenal dan hidup hingga kini yakni Partuturon. Peringatan untuk tidak melanggar Patik itu ditegaskan dengan kata Sotung (Jangan Sampai). Dan, mengharamkan segala pelanggaran terhadap aturan, yang dikenal dengan kata Subang (Pantangan).
2.3 Etika Dalihan “Na Tolu”
Bunyi dari Etika Dalian Na Tolu atau yang disebut dengan Tungku Yang Tiga adalah: Manat Mardongan Tubu, Somba Marhula-hula, Elek Marboru.
Manat Mardongan Tubu (Saling menghormati terhadap saudara sedarah). Hubungan satu sama lain diantaranya orang yang bersaudara sabutuha (se-marga) harus berhati-hati, dijaga jangan sampai konflik baik dalam perkataan maupun perbuatan. Menghindari sikap sombong atau arogansi sesama saudara (dalam konteks sedarah).
Somba Hula-hula (hormat kepada hula-hula. Leluhur orang Batak menganggap hula-hula sebagai Debata na niida, artinya Allah yang kelihatan atau sebagai wakil Allah Sang Maha Pencipta di bumi. Anggapan tersebut sampai sekarang masih terus berjalan, sehingga nasihat dan permintaan hula-hula selalu dituruti, kalau tidak, bisa terjadi malapetaka. Sebaliknya hula-hula diharapkan memberikan nasehat, petuah dan berkat kepada borunya serta mendoakan agar borunya dikaruniai hagabeon (keturunan yang banyak), hamoraon (harta/kekayaan), dan hasangapon (kehormatan). Bahkan seringkali kesuksesan suatu pesta diukur dan puas tidaknya pihak hula-hula diperlakukan borunya. Sehingga harus ada keseimbangan jika tidak terjadi keseimbangan, kadangkala ada perkataan yang muncul, “Asal ro hula-hula maneat babi, asal ro hula hula maneat babi, hula-hula babi” Maksudnya asal datang hula-hula memotong babi, asal datang hula-hula memotong babi, hula-hula babi.
Elek Marboru (membujuk atau mengayomi boru). Kehadiran boru bagaikan ‘bunga yang semerbak’ dalam pesta dan biasanya pihak boru harus disayang dan diupayakan agar permintaanya selalu terkabulkan. Pihak boru adalah penyumbang tenaga dan materi dalam pelaksanaan sebuah pesta dan pihak boru ini dibantu oleh pihak bere (anak dari boru). Sukses suatu acara adat juga tergantung dari kontribusi atau peran serta dari pihak boru dan bere.
Latar belakang pembentukan atau penciptaan lembaga Dalihan Na Tolu berbeda dari lembaga pranata adat di daerah lain di Indonesia. Dalihan Na Tolu tidak dibentuk berdasarkan komitmen atau kesepakatan, melainkan muncul sebagai kodrat karena adanya perkawinan dan marga. Marga itu melekat dalam diri individu tersebut dari pertama kali bernafas di dunia ini sampai menghembuskan nafas yang terakhir di dunia ini. Dalihan Na Tolu bagi suku Batak merupakan budaya yang tidak lapuk karena panas dan tidak luntur karena hujan, tahan uji dan selalu relevan, sudah mendarah daging sehingga Dalihan Na Tolu disebut sebagai etika deep culture.

3.1 Kesimpulan
Setelah membahas panjang lebar, penulis memiliki kesimpulan bahwa, Etika Dalihan Na Tolu harus dilestarikan.
Setelah mencermati culture dari budaya Batak ternyata dalam agama tradisional Batak banyak diilhami dari pandangan budaya, dari pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak semua budaya-budaya tradional negatif seperti paham-paham agama-agama Modern sekarang yang ingin menghilangkan sedikit demi sedikit budaya Batak seperti ulos dan uning-uningan. (musik tradisonal Batak) dalam penggunaan tata ibadah karena diaanggap penggunaannya masih dianggap untuk memanggil arwah nenek moyang atau masih bersifat magis. Semua budaya yang digunakan kalau digunakan untuk yang baik tidaka akan bersifat magis tergantung prsepsi orang, malah budaya tradisional memiliki sisi positif seperti kepercayaan Dalihan na Tolu ternyata dapat mnghilangkan kesenjangan sosial karena tidak membedakan usia, kekayaan dan kekuasaan akan tetapi sifatnya adil karena adakalanya seseorang berada di atas dan adakalanya di bawah. Jadi adat tradisional Batak jangan dihilangkan.







DAFTAR PUSTAKA

Lumban Tobing, Andar M. Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996.

Lumban Tobing, Andar M “Sahala” of Medicine Man and Theological graduate (art), dalam : The South East Asia Jurnal of Theology, vol. 4 no 3 January, 1963.

Panggabean H.P dan Sinaga Richard. Hukum Adat Dalihan Na Tolu, Jakarta : Dian Utama dan Kerabat, 2004.

Pedersen, P.B. Darah Batak dan Jiwa Protestan – Perkembangan Gereja-gereja Batak di Sumatera Utara, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1975.

Sarumpaet, Ramlan. Penggalian Tulang Belulang Orang Mati Dalam Masyarakat Batak Toba : Telaah etis teologis tentang perjumpaan injil dan kebudayaan Batak, Jakarta: Tesis di ajukan kepada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1991.

Simanjuntak, Humala. Dalihan Na Tolu: Nilai-nilai Budaya Yang Hidup, Jakarta : O.C. Kaligis & Associates, 2006.

Sirait, Jamilin. Injil dan Tata Hidup : The Gospel and Life Order Evangelium und Lebendsordnung, Pematang Siantar : STT HKBP, 2001.

Tumanggor, Raja Oloan. Catatan Mata Kuliah Pengantar Filsafat Barat, tanggal 29 Oktober 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar