Etika Hukum Taurat
I. Asal Usul Kata Tora (Taurat)
Alkitab bahasa Indonesia menerjemahkan tora (bahasa Ibrani) dan nomos (bahasa Yunani), yang masing-masing muncul kr 200 kali, dengan 'hukum Taurat', 'hukum' saja, atau 'Taurat' saja.
Ada perbedaan pendapat yang luas tentang asal usul kata tora, tapi dapat dipastikan ada kaitannya dengan kata kerja hora yang berarti memimpin, mengajar, mendidik dan dibanyak tempat dapat diterjemahkan dengan 'pengajaran', misal dalam Yes. 1:10 dan Hag 2:11-13.
II. Asal Usul Tora (Taurat)
Ajaran seperti itu diberikan oleh para bapak, atau orang bijaksana yang menyapa murid-muridnya dengan sebutan 'anak' (Ams 3:1; 6:23; 7:2; 13:14), atau oleh para ibu (Ams 1:8; 6:20; 31:26). Kata-kata yang sejajar adalah mutsar, 'petunjuk'; khokhma, 'kebijaksanaan'; dan khususnya mitswa, 'perintah'. Tapi kebanyakan pengajaran itu berasal bukan dari manusia, melainkan dari Allah. Tora tidak pernah digunakan bila menggambarkan komunikasi langsung antara Allah dan manusia. Sebab itu dalam cerita Kejadian tidak banyak dijumpai (kecuali Kej 26:5 saja). Tora diberikan oleh Allah, tapi melalui perantara-perantara manusia seperti Musa, para imam, para nabi atau hamba Tuhan (Yes 42:4).
Sejak permulaan istilah tora digunakan untuk menggambarkan ajaran mengenai suatu hal, keputusan-keputusan yang diambil untuk memecahkan soal yang musykil. Contoh yang baik ditemukan dalam Hag 2:11-13, dimana ditanyakan keputusan para imam mengenai soal ketahiran. Keputusan para imam, petunjuk mereka bagi tingkah laku umat disebut tora, 'ajaran'.
Tugas untuk memberi petunjuk-petunjuk macam itu dipercayakan kepada para imam oleh Allah (Mal 2:6-7), dan oleh sebab itu keputusan- keputusan mereka mempunyai kekuatan ilahi. Keputusan-keputusan yang penting berlaku lebih lama daripada peristiwa yang menjadi sebab lahirnya keputusan itu. Keputusan-keputusan itu dipelihara oleh umat yang hidupnya dikuasai oleh keputusan tersebut. Tradisi lisan pada akhirnya mengumpulkan keputusan-keputusan tersebut menjadi kesimpulan ajaran yang diperkenalkan oleh para imam, yang bukan hanya menjadi perantara dari keputusan-keputusan ilahi itu, tapi mereka juga menjadi penerus keputusan-keputusan tersebut kepada angkatan berikutnya.
Pada waktunya kumpulan-kumpulan torot itu dituliskan. Himpunan petunjuk untuk upacara-upacara keagamaan atau hal-hal lain, juga disebut sebuah tora, sering dalam bentuk tunggal, walaupun bentuk jamak juga dijumpai. Tora yang tertulis seperti itu dijaga oleh para imam di tempat kudus (Ul 31:24-26). Pada akhir perkembangan ini segenap Pentateukh (lima Kitab Musa) atau bahkan seluruh PL dikutip sebagai 'tora itu'. Jadi ajaran ilahi adalah bagian dari tugas imam-imam, tapi sementara memberikan ajaran ilahi para imam juga menunaikan tugas nabi, karena kekuasaan dari tora mereka bersandar pada wahyu. Jadi para nabi sering juga memberikan tora (Yes 1:10; 8:16, 20; 30:9-10). Ini tidak berarti bahwa sebelum nabi-nabi abad 8 sM bersuara, tidak ada tora; Hos. 8:12 secara jelas menyebut himpunan torot yang tertulis.
Pada umumnya kita dapat mengatakan bahwa teguran-teguran para nabi bagi pendengarnya yang mula-mula, tiada nilainya bila sebelumnya tidak ada tora yang diketahui dengan baik maupun diterima umum kekuatannya. Sama seperti nabi-nabi menyampaikan pemberitaan mereka dalam bentuk puitis berirama, ajaran ilahi nampaknya sering mempunyai kerangka puitis yang tetap, yang pasti dianjurkan untuk lebih mudah diingat orang. Dalam Kel 21:12 dab sebagai contoh, ada sederetan ayat yang masing-masing terdiri atas 3-2 tekanan metris, dan semuanya berakhir dengan 'pastilah ia dihukum mati'. Dengan cara yang sama kita baca dalam Ul 27:15 dan ayat berikutnya dua belas baris, masing-masing dengan empat tekanan, dan semua dimulai dengan 'Terkutuklah orang yang ...' Dasa Titah dan pasangan- pasangannya di bagian kitab lainnya (Kel 20:l-17; Ul 5:6-21; Kel 34:1-26) menunjukkan bentuk yang lebih berkembang, di mana pertimbangan-pertimbangan metris tidak lagi memainkan peranan penting.
III. Pembagian Hukum Taurat
Dekalog yang terdiri dari sepuluh firman tersebut adalah butir-butir hukum Tuhan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Seluruhnya merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Pelanggaran terhadap salah satu butir hukum tersebut berarti melanggar keseluruhan dari hukum tersebut (Yak. 2:10). Dalam menerima butir-butir dekalog hendaknya kita tidak tergoda untuk mengubah susunannya atau menyatukan butir-butirnya. Namun jika ditinjau dari obyeknya, dekalog dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
(1) Bagian pertama terdiri dari hukum kesatu sampai keempat. Bagian ini merupakan hukum-hukum yang mengatur hubungan umat dengan Allah.
(2) Bagian kedua terdiri dari hukum kelima sampai kesepuluh. Bagian ini merupakan hukum-hukum yang mengatur hubungan antar sesama.
Pembagian ini janganlah dimengerti sebagai pembagian yang mutlak sebab hukum kesatu sampai keempat bukan hanya semata-mata mengatur hubungan antara Tuhan dan umat-Nya, tetapi berkaitan juga dengan hubungan antar umat itu sendiri. Ketaatan kepada hukum kesatu sampai ketiga sangat berpengaruh terhadap sikap hidup seseorang terhadap sesamanya. Hukum keempat mengenai hari Sabat, juga berkaitan dengan sikap para tuan terhadap budaknya. Sebab pada hari Sabat, umat bukan saja diwajibkan untuk bersekutu dengan Allah, tetapi juga memperlakukan budak-budaknya secara manusiawi. Sebaliknya, jika seseorang tidak memperdulikan hukum kelima sampai kesepuluh, maka secara tidak langsung ia akan merusak hubungannya dengan Allah yang memiliki hukum tersebut. Oleh sebab itu pembagian ini harus dimengerti sebagai pembagian secara relatif.
IV. Etika dalam Hukum Taurat
Di dalam Kitab Perjanjian Lama, Hukum Taurat itu biasanya disebut “Tora”. Kata ini berasal dari kata kerja hora yang memiliki arti mengajar atau menunjukkan. Dasar dari etika Kristiani adalah hukum kasih, akan tetapi akar dari hukum kasih adalah Dasar Titah atau Hukum Taurat. Etika Perjanjian Lama dimulai dengan Hukum Taurat yang berbunyi, “Jangan ada padamu Allah lain di hadapanku” (Keluaran 20:3). Dasar etika PL adalah Allah yang hidup dan aktif dalam sejarah, terutama dalam sejarah Israel. Bangsa Israel memahami Tora secara khusus sebagai petunjuk Ilahi atau keputusan Ilahi. Tora juga merupakan salah satu titik tolak etik Kristen. Hal ini disebabkan karena Tora menempatkan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia berada di bawah pemerintahan TUHAN. Di sini terdapat pengertian bahwa Allah Israel senantiasa memperhatikan soal-soal kehidupan umatNya. Ia memberi pimpinan dan petunjuk dalam setiap masalah, kesukaraan, pencobaan yang dihadapi umatNya. Petunjuk dan keputusan itulah yang kemudian disebut Tora.
Dengan Tora/ Taurat, Israel memelihara kenangan mereka pada perjanjian. Taurat mengingatkan bangsa Israel bahwa Allah-lah yang memerintah. Selain itu, Taurat melindungi kehidupan manusia dan harta milik. Di sinilah letak moral paling awal dan jelas dalam Perjanjian Lama, yakni kekudusan hidup. Hal ini erat kaitannya dengan penciptaan manusia yang serupa gambar Allah.
Dalam etika Perjanjian Lama, manusia dipandang lebih penting dari harta benda. Pandangan yang demikian rupanya menjadi dasar dalam pemberian hukuman atas sebuah pelanggaran. Terdapat etos perikemanusiaan dalam perundangan Israel mengenai hukuman. Jika seorang dijatuhi hukuman fisik, tentunya ada batas-batasnya dengan maksud tidak menurunkan martabat sang pelanggar. Perjanjian Lama memberikan skala nilai-nilai yang memiliki implikasi etis dalam lingkungan sosio-budaya.
Kita perlu mengingat bahwa Taurat diasosiasikan dengan sejarah Israel yang khusus. Dan selanjutnya, tentu terbersit dalam benak kita mengenai perjanjian antara Allah dan bangsa Israel. Taurat memang berhubungan dengan perjanjian. Keempat firman pertama adalah mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, Sang Kepala Perjanjian, sedangkan keenam firman berikutnya mengenai hubungan antara para anggota perjanjian tersebut. Dalam Kesepuluh Firman inilah terdapat sifat yang hakiki yakni agama dan kesusilaan tidak dapat dipisahkan dan keduanya merupakan satu kesatuan yang mutlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar