Relevankah Perjamuan Kudus dilakukan di Liturgi HKBP saat Jumaat Agung?
1. Pendahuluan.
1.1 Latar Belakang.
Kebaktian Jumaat Agung bukan lagi hal yang baru dalam Liturgi HKBP, sejak HKBP berdiri pada tanggal 7 Oktober 1861 , sudah berulang kali dilaksanakan kebaktian Jumaat Agung, akan tetapi ketika penulis mengikuti beberapa ibadah Jumaat Agung di beberapa gereja HKBP, penulis melihat bahwa HKBP melakukan Perjamuan Kudus pada Liturgi Jumaat Agung. Ketika penulis mengikuti mata kuliah Liturgi 1, Dosen Pengampu mata kuliah Liturgika mengatakan bahwa, “Pada dasarnya Perjamuan Kudus dilakukan pada perayaan Paskah bukan pada saat Jumaat Agung, karena Perjamuan Kudus merupakan ucapan syukur bukan peringatan kematian.” Oleh karena itu, untuk menyelesaikan tugas Akhir mata kuliah Liturgika 1, penulis memilih topik, “Relevankah Perjamuan Kudus dilakukan di Liturgi HKBP saat Jumaat Agung?”.
1.2 Perumusan Masalah.
Dalam menyelasaikan tugas akhir pada mata kuliah Liturgi 1, maka perumusan masalah pada peper ini maka penulis dalam isi akan menjelaskan penjebaran mengenai Perjamuan Kudus, penjabaran mengenai Jumaat Agung dan teologi HKBP mengenai perjamuan Kudus beserta liturgi HKBP.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan.
Tujuan dan manfaat dari penulisan ini selain menyelesaikan tugas akhir dari mata kuliah Liturgika, penulis berharap dapat berguna bagi diri sendiri bahkan bagi jemaat HKBP agar mengetahui sedikit arti dan makna Perjamuan Kudus.
2. Isi
2.1 Makna Perjamuan Kudus.
"Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!" Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!" Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang." 1 Korintus 11:23-26
Dari ayat diatas dapat disimpulkan menjadi Peringatan Akan Tuhan YESUS Kristus
Saat kita makan tubuh dan darah Kristus, maka disebut dengan anemesis atau mengenang kembali Yesus.
Perayaan Perjamua Kudus merupakan penggenapan secara Injiliah dari Ibadah Kurban dalam Bait Allah yang ditetapkan oleh Hukum Taurat Musa. Perjamuan Tuhan adalah merupakan sakramen. Di dalamnya kematianNya seperti tertulis di 1 Korintus 11:23-26 menceritakan dengan cara memberikan dan menerima roti dan anggur, bukan dengan cara badaniah dan jasmani, melainkan melalui iman. Dengan demikian mereka diberia makan secara rohani dan bertumbuh dalam anugerah.
Perjamuan Kudus bukan hanya pesta peringatan, akan tetapi “Orang-orang yang menerima sakramen itu dengan cara yang layak, dan yang turut mengambil bagian dalam unsur-unsur kelihatan sakramen ini (1 Kor 11:27-29; 2 Kor 6:14-16), dengan demikian, secara batin, melalui iman, sungguh-sungguh & secara nyata, namun tidak secara badaniah & jasmani,tetapi secara rohani. “Worthy receivers, outwardly partaking of the visible elements, in this sacrament, do then also, inwardly by faith, really and indeed, yet not carnally and corporally but spiritually, receive, and feed upon, Christ crucified, and all benefits of his death.”
Akan tetapi Perjamuan Kudus ternyata tidak diberikan kepada semua anggota jemaat, akan tetapi dibagikan hanya kepada “orang dewasa, yang sudah mampu menguji diri.”atau mereka yang sudah sidi atau disebut katekhisasi (Anak-anak Perjanjian atau disebut covenant diharuskan membuat pengakuan iman pada Kristus di depan umum
Hal ini dilakukan oleh beberapa gereja agar menjaga kesucian sakramen dengan membagikannya hanya pada orang yang berhak (1 Korintus 11:27-32). Dan bukan hanya yang belum menerima sidi tetapi Jemaat yang tidak boleh menerimanya jika hak keanggotaan mereka sedang dicabut atau mereka menolak berdamai dengan saudaranya.
Akan tetapi Perjamuan Kudus dalam Alkitab ada beberapa jenis yaitu perjamuan dalam masyarakat asli, perjamuan dalam perjanjian lama, dan perjamuan pada jaman Yesus.
Bagi masyarakat asli, perjamuan merupakan lambang persatuan dan persaudaraan antara manusia dengan sesamanya, oleh sebab itu menurut G.Van der Leeuw bahwa kebiasaan makan bersama yang sering dilakukan bersama keluarga merupakan warisan dari perjamuan masyarakat asli.
Bagi masyrakat perjanjian lama, makan bersama oleh umat Israel adalah symbol yang mengungkapkan persatuan dan persekutuan dengan הוָה אֱ (YAHWE) dan sesama manusia. Bagi umat Israel, makan bersama merupakan tanda eskatologis. Eskatologis yang dimaksud adalah pralambang atau persiapan yang mendahului perjamuan yang disiapkan YAHWE kepada umat segala bangsa.
Dalam perjamuan pada jaman Yesus, kebiasaan makan dan minum Yesus dengan murid-muridnya dapat dibandingkan dengan waktu makan bagi petani-petani, gembala-gembala dan para tukang. Yesus dan murid-muridnya melakukan makan pagi sebelum siang hari dengan menu makanan yang panas dan minum dengan dibuka dan ditutup dengan doa ucapan syukur, dan pada malam Sabbat merupakan makan dan minum yang meriah. Bagi Yesus perjamuan merupakan sesuatu kegiatan yang penting dan sakral karena merupakan pralambang perjamuan abadi dengan perjamuan dalam Kerajaan Allah. Pada Jaman Yesus, diceritakan beberapa kali Yesus menghadiri dan melakukan perjamuan yaitu Yesus dijamu oleh Levi (Markus 2:15-17), Yesus makan dirumah Zakheus (Lukas 19:1-10), dan perjamuan akhir (Matius 26:20-30; Markus 14: 17-26; Lukas 22:14-23; Yohanes 13:1-18; dan 1 Korintus 11:23-25)
2.2 Makna Ibadah Jumaat Agung.
Ibadah Jumaat Agung bagi umat Kristen merupakan ibadah dimana kegiatan yang dilakukan untuk memperingati kematian Tuhan Yesus di kayu salib atau orang Kristen sering menyebutkan bahwa Allah menyerahkan anaknya yang tunggal Yesus Kristus disalibkan untuk menebus dosa manusia. Kadang kala kita sering berfikir mengapa harus mati dalam menebus dosa manusia, mengapa tidak ada cara yang lain? Kematian Yesus dapat disimpulkan sebagai karya penyelamatan Yesus terhadap dosa-dosa manusia. Dalam bahasa Yunani, istilah dei harus dipahami sebagai petunjuk, bukan kepada “takdir yang tak terelakkan”, tetapi “sesuatu yang mutlak perlu dalam keseluruhan misi Yesus. Dari pengertian tersebut merupakan petunjuk pertama bahwa Yesus memandang penderitaan-Nya sebagai bagian dari suatu rencana atau nubuat. Dan jawaban dari “Mengapa Yesus harus mati?” di dalam perjanjian baru memberi dua jawaban.
Yang pertama, didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang telah mengakibatkan kematian Yesus. Yang kedua, didasarkan pada pernyataan-pernyataan Yesus tentang diri- Nya sendiri. Tujuan Yesus mati adalah bukan hanya menjadi fakta sejarah yang harus kita terima tetapi juga menjadi fakta pembebasan kita dari kuasa dosa dan si jahat, dan sekaligus menjadi kekuatan yang memungkinkan kita untuk hidup kudus di hadapan- Nya. Kadangkala ada pendapat yang menyatakan bahwa Kristus mati untuk memungkinkan Allah mengampuni orang-orang berdosa, seakan-akan jika tidak menggunakan cara demikian Allah tidak mampu mengampuni kita. Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa Kristus benar-benar datang untuk menyelamatkan yang terhilang. Anehnya kematian Kristus bukan untuk memberikan manfaat bagi diri-Nya sendiri. Alasannya, karena Kristus adalah Allah, Ia telah memiliki semua kemuliaan dan kuasa yang dapat Ia miliki. Maka, di penghujung kehidupan-Nya di dunia, Ia tidak meminta kemuliaan lain selain kemuliaan yang telah Ia miliki sebelumnya (Yoh. 17:5). Ia tidak perlu mati untuk mendapatkan manfaat baru lainnya bagi diri-Nya sendiri. Kadangkala muncul pendapat bahwa dengan kematian-Nya, Kristus memperoleh hak untuk menjadi Hakim atas segala sesuatu. Tetapi jika tujuan kematian-Nya adalah demi mendapatkan kuasa untuk menghukum sebagian manusia, maka tidak mungkin Ia telah mati untuk menyelamatkan mereka! Karena itu, dapat kita simpulkan bahwa kematian Kristus pastilah bertujuan untuk memberikan manfaat bagi kita. Kematian Kristus bukanlah supaya Bapa dapat menolong kita, jika Ia menginginkan. Bukan juga untuk mendapatkan beberapa manfaat baru bagi Kristus sendiri. Jadi dapat kita simpulkan bahwa Yesus mati karena Allah sangat mengasihi umatnya manusia dan untuk menebus dosa-dosa umatnya, Allah menyerahkan anaknya yang tunggal Yesus untu disalib.
Kamis, 29 Oktober 2009
ETIKA EUTHANASIA
“tindakan Euthanasia apakah kita menjadi menolak anugerah hidup yang Allah berikan ataukah kita menolak takdir Allah kepada hidup kita…???”
1. Pendahuluan.
Hidup atau mati adalah inheren bagi setiap mahluk hidup, termasuk manusia. Hidup dan mati merupakan masalah hakiki manusia sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun, dengan semakin berkembangnya jaman yang begitu pesat, masalah hidup atau mati menjadi hal yang semakin problematic dan patut diprtanyakan maknanya. Euthanasia adalah salah satu contoh mengenai pilihan hidup dan mati manusia yang problematis dan dilematis akibat perkembangan jaman. Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah menjadi hal umum dan banyak yang dipertanyakan, tetapi tidak semua orang membenarkan tindakan tersebut. Namun pada dasarnya, masalah Euthanasia adalah masalah yang aktual bagi semua orang, dan sepenggal kutipan diataslah yang membuat penulis ingin membahas lebih lanjut mngenai Euthanasia.
2. Isi.
Euthanasia berasal dari kata Yunani yaitu ‘eu’ yang berarti baik dan ‘thanathos’ yang berarti kematian. Jadi secara Etimologis Euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik, mati dengan bahagia, mati senang, mati tenang, mati damai, mati tanpa penderitaan (a good death). Euthanasia bisa juga disebut dengan dibiarkan mati oleh belaskasihan (merciful death) atau Euthanasia aktif dan dimatikan karena belas kasihan (mercy killing) atau Euthanasia pasif. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kematian yang membahagiakan.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Euthanasia ada dua jenis, yaitu Euthanasia aktif dan Euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah mengambil kehidupan seseorang untuk mngurangi penderitaanya dimana terkandung unsure kesengajaan dalam pelaksanaanya dan akibatnya menghasilkan kematian. Sedangkan Euthanasia pasif adalah membiarkan si sakit mati tanpa bantuan alat bantu secara medis dan akibatnya membiarkan kematian. Namun ternyata Euthanasia emiliki jenis-jenis lain, yaitu Euthanasia involunter dan Euthanasia Volunter. Euthanasia volunter berarti si sakit meminta sendri dan mengetahui kematiannya, sedangkan Euthanasia involunter biasanya dilakukan atas permintaan orang lain tanpa diketahui oleh si sakit sehingga sangat sulit mengkategorikan ke dalam beberapa jenis tindakan Euthanasia.
2.1 Euthanasia menurut Etika Medis.
Berkembangnya ilmu teknologi dalam dunia kedokteran dan pelayanan medis merupakan tantangan bagi etika medis saat ini. Hal inilah yang menjadi persoalan rumit bagi masalah Euthanasia. Secara umum tindakan yang berkaitan dengan etika medis yang dilakukan oleh petugas medis berupaya untuk membantu para pasiennya selama perawatannya, sehingga pasien dapat memperoleh kesembuhan seperti sediakala. Para petugas medis memperjuangkan agar dapat memperoleh hidup yang lebih baik, karena naluri terkuat manusia adalah mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini berarti Tim Medis dilarang mengakhiri kehidupan manusia (Euthanasia), walaupun menurut hasil pemeriksaan medis dan pengalamannya pasien tersebut tidak dapat diselamatkan lagi atau tidak dapat disembuhkan.
Kode Etik kedokteran Indonesia melarang adanya tindakan Euthanasia Aktif, dengan kata lain Tim Medis tidak berhak sebagai Tuhan yang dapat mencabut nyawa orang dengan sembarangan, karena dokter adalah orang yang bertugas menyelamatkan atau memelihara kehidupan bukan bertindak sebagai penentu kehidupan bukan bertindak sebagai penentu kehidupan. Apabila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka dokter dapat membiarkan pasien tanpa alat bantu bukan mengakhiri hidup sang pasien.
2.2 Euthanasia menurut Pandangan Gereja.
Dalam pandangan Gereja kehidupan merupakan sesuatu yang sangat bernilai, oleh karena itu masalah Eutahanasia menjadi keprihatinan besar bagi Gereja. Menurut Gereja Euthanasia adalah suatu tindakan semena-mena merampas hidup manusia karena hal itu sama dengan pembunuhan. Bagi Gereja manusia memperjuangkan hidup untuk mengikut Kristus yang juga mengalami penderitaan karena, penderitaan dapat menjadi iman dan jalan untuk semakin mengenal Kristus.
Kristus mengajarkan kepada kita mncapai kesempurnaan dan bersatu Allah Bapa karena salib yang Ia terima menjadi jalan kebangkitan-Nya. Dengan wafat dan kebangkitan-Nya menjadi Juruselamat dunia. Oleh seba itu sakit dan penderitaan yang dialami perlu disyukuri olh manusia, karena manusia harus dihormati karena hidup tidak hanya untuk ini saja, tetapi hidup terus berlangsung selama-lamanya. Pada intinya hidup dan mati manusia adalah milik Tuhan (Roma 14:8 ; Filipi 1:20).
2.3 Euthanasia menurut Landasan Teologis.
Allah menciptakan manusia dengan penuh kasih. Ia memberikan kehidupan kepada ciptaan-Nya terutama manusia. Hal ini menunjukkan bahwa hidup manusia merupakan anugerah Allah yang sungguh besar, Allah tidak mengharapkan umatnya mengalami kematian dan penderitaan. Hal ini berarti bahwa kita memperoleh hidup abadi dengan perseturuan dengan Allah. Ia bukanlah Allah orang mati melainkan Allah orang hidup (Keluaran 2:23-4 ::17).
Menurut ajaran Agama Kristen, nyawa manusia merupakan pemberian langsung dari Allah. Oleh karena itu, tindakan apapun yang bertujuan untuk menghilangkan nyawa manusia dengan alas an apapun sangat ditentang. Didalam Alkitab pun dengan jelas bahwa ada larangan “jangan membunuh” (Keluaran 20: 13) dan “kematian adalah hak Tuhan” (Ulangan 32:29; Ayub 1:21; Ibrani 9:27).
Beriman kepada Allah berarti mengikut Dia dan menerima salib bukan lari dari sebuah kenyataan. Euthanasia aktif langsung yang terjadi atas kehendak pasien atau pihak keluarganya merupakan tanda bahwa manusia melarikan diri dari kenyataan dan menghindari diri dari penderitaan dan salib. Tindakan tersebut merupakan tindakan keputusasaan manusia pada kenyataan hidup karena tidak ada lagi pengharapan akan kasih Allah untuk memperoleh kehidupan yang akan dating.
3 Penutup
Dari semua uraian diatas maka penulis menarik kesimpulan dari penggalan kutipan masalah Euthanasia berkaitan dengan masalah hidup. Hidup manusia merupakan anugerah Allah yang sangat besar. Allah mengajak umat-Nya memelihara hidup dan memperoleh keselamatan. Keselamatan dari Allah berarti hidup bersatu dengan Allah. Sebagai umat Kristen seharusnya kita menjunjung tinggi nilai kehidupan, oleh sebab itu hidup harus disyukuri, sebab hidup mati kita adalah milik Tuhan dan jika tidak Euthanasia bukan berarti menolak takdir Allah karena tanpa melepas alat bantupun jika ajalnya sudah tiba maka si pasien pasti meninggal. Pada dasarnya secara moral praktek Euthanasia tidak dapat dibenarkan baik alasan penderitaan maupun ekonomi sebab manusia adalah makhluk mulia yang mampu menahan derita yang lebih penting daripada materi dan pada dasarnya Kode Etik kedokteran Indonesia melarang adanya tindakan Euthanasia Aktif karena dokter adalah orang yang bertugas menyelamatkan atau memelihara kehidupan bukan bertindak sebagai penentu kehidupan bukan bertindak sebagai penentu kehidupan dan bukan hanya pada dokter saja, pasien dan keluarga juga tidak diperkenankan untuk melakukan Euthanasia Aktif karena “kematian adalah hak Tuhan”.
Sebagai orang Kristen seharusnya kita menghibur orang yang sakit untuk bertahan dalam penderitaan dan menyakinkan untuk menghadapi kematian dengan sukacita karena iman kepada Kristus, sehingga jelas sekali bahwa Euthanasia merupakan tindakan yang tidak menghargai anugerah hidup yang Allah berikan kepada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Borong, Dr. Robert. P, Kapita Selekta Bioetik-Perspektif Kristiani, Bandung: Jurnal Info Media, 2007.
Carm, Dr. Piet Go.O, Euthanasia: Beberapa soal Ethis Akhir hidup menurut Gereja Katholik, Malang: Dioma, 1990.
Karyadi, Petrus Yoyo, Euthanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Media Persindo, 2001.
Yuantoro, F.A. Eka, MSF, Euthanasia, Jakarta: Obor, 2005.
“tindakan Euthanasia apakah kita menjadi menolak anugerah hidup yang Allah berikan ataukah kita menolak takdir Allah kepada hidup kita…???”
1. Pendahuluan.
Hidup atau mati adalah inheren bagi setiap mahluk hidup, termasuk manusia. Hidup dan mati merupakan masalah hakiki manusia sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun, dengan semakin berkembangnya jaman yang begitu pesat, masalah hidup atau mati menjadi hal yang semakin problematic dan patut diprtanyakan maknanya. Euthanasia adalah salah satu contoh mengenai pilihan hidup dan mati manusia yang problematis dan dilematis akibat perkembangan jaman. Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah menjadi hal umum dan banyak yang dipertanyakan, tetapi tidak semua orang membenarkan tindakan tersebut. Namun pada dasarnya, masalah Euthanasia adalah masalah yang aktual bagi semua orang, dan sepenggal kutipan diataslah yang membuat penulis ingin membahas lebih lanjut mngenai Euthanasia.
2. Isi.
Euthanasia berasal dari kata Yunani yaitu ‘eu’ yang berarti baik dan ‘thanathos’ yang berarti kematian. Jadi secara Etimologis Euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik, mati dengan bahagia, mati senang, mati tenang, mati damai, mati tanpa penderitaan (a good death). Euthanasia bisa juga disebut dengan dibiarkan mati oleh belaskasihan (merciful death) atau Euthanasia aktif dan dimatikan karena belas kasihan (mercy killing) atau Euthanasia pasif. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kematian yang membahagiakan.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Euthanasia ada dua jenis, yaitu Euthanasia aktif dan Euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah mengambil kehidupan seseorang untuk mngurangi penderitaanya dimana terkandung unsure kesengajaan dalam pelaksanaanya dan akibatnya menghasilkan kematian. Sedangkan Euthanasia pasif adalah membiarkan si sakit mati tanpa bantuan alat bantu secara medis dan akibatnya membiarkan kematian. Namun ternyata Euthanasia emiliki jenis-jenis lain, yaitu Euthanasia involunter dan Euthanasia Volunter. Euthanasia volunter berarti si sakit meminta sendri dan mengetahui kematiannya, sedangkan Euthanasia involunter biasanya dilakukan atas permintaan orang lain tanpa diketahui oleh si sakit sehingga sangat sulit mengkategorikan ke dalam beberapa jenis tindakan Euthanasia.
2.1 Euthanasia menurut Etika Medis.
Berkembangnya ilmu teknologi dalam dunia kedokteran dan pelayanan medis merupakan tantangan bagi etika medis saat ini. Hal inilah yang menjadi persoalan rumit bagi masalah Euthanasia. Secara umum tindakan yang berkaitan dengan etika medis yang dilakukan oleh petugas medis berupaya untuk membantu para pasiennya selama perawatannya, sehingga pasien dapat memperoleh kesembuhan seperti sediakala. Para petugas medis memperjuangkan agar dapat memperoleh hidup yang lebih baik, karena naluri terkuat manusia adalah mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini berarti Tim Medis dilarang mengakhiri kehidupan manusia (Euthanasia), walaupun menurut hasil pemeriksaan medis dan pengalamannya pasien tersebut tidak dapat diselamatkan lagi atau tidak dapat disembuhkan.
Kode Etik kedokteran Indonesia melarang adanya tindakan Euthanasia Aktif, dengan kata lain Tim Medis tidak berhak sebagai Tuhan yang dapat mencabut nyawa orang dengan sembarangan, karena dokter adalah orang yang bertugas menyelamatkan atau memelihara kehidupan bukan bertindak sebagai penentu kehidupan bukan bertindak sebagai penentu kehidupan. Apabila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka dokter dapat membiarkan pasien tanpa alat bantu bukan mengakhiri hidup sang pasien.
2.2 Euthanasia menurut Pandangan Gereja.
Dalam pandangan Gereja kehidupan merupakan sesuatu yang sangat bernilai, oleh karena itu masalah Eutahanasia menjadi keprihatinan besar bagi Gereja. Menurut Gereja Euthanasia adalah suatu tindakan semena-mena merampas hidup manusia karena hal itu sama dengan pembunuhan. Bagi Gereja manusia memperjuangkan hidup untuk mengikut Kristus yang juga mengalami penderitaan karena, penderitaan dapat menjadi iman dan jalan untuk semakin mengenal Kristus.
Kristus mengajarkan kepada kita mncapai kesempurnaan dan bersatu Allah Bapa karena salib yang Ia terima menjadi jalan kebangkitan-Nya. Dengan wafat dan kebangkitan-Nya menjadi Juruselamat dunia. Oleh seba itu sakit dan penderitaan yang dialami perlu disyukuri olh manusia, karena manusia harus dihormati karena hidup tidak hanya untuk ini saja, tetapi hidup terus berlangsung selama-lamanya. Pada intinya hidup dan mati manusia adalah milik Tuhan (Roma 14:8 ; Filipi 1:20).
2.3 Euthanasia menurut Landasan Teologis.
Allah menciptakan manusia dengan penuh kasih. Ia memberikan kehidupan kepada ciptaan-Nya terutama manusia. Hal ini menunjukkan bahwa hidup manusia merupakan anugerah Allah yang sungguh besar, Allah tidak mengharapkan umatnya mengalami kematian dan penderitaan. Hal ini berarti bahwa kita memperoleh hidup abadi dengan perseturuan dengan Allah. Ia bukanlah Allah orang mati melainkan Allah orang hidup (Keluaran 2:23-4 ::17).
Menurut ajaran Agama Kristen, nyawa manusia merupakan pemberian langsung dari Allah. Oleh karena itu, tindakan apapun yang bertujuan untuk menghilangkan nyawa manusia dengan alas an apapun sangat ditentang. Didalam Alkitab pun dengan jelas bahwa ada larangan “jangan membunuh” (Keluaran 20: 13) dan “kematian adalah hak Tuhan” (Ulangan 32:29; Ayub 1:21; Ibrani 9:27).
Beriman kepada Allah berarti mengikut Dia dan menerima salib bukan lari dari sebuah kenyataan. Euthanasia aktif langsung yang terjadi atas kehendak pasien atau pihak keluarganya merupakan tanda bahwa manusia melarikan diri dari kenyataan dan menghindari diri dari penderitaan dan salib. Tindakan tersebut merupakan tindakan keputusasaan manusia pada kenyataan hidup karena tidak ada lagi pengharapan akan kasih Allah untuk memperoleh kehidupan yang akan dating.
3 Penutup
Dari semua uraian diatas maka penulis menarik kesimpulan dari penggalan kutipan masalah Euthanasia berkaitan dengan masalah hidup. Hidup manusia merupakan anugerah Allah yang sangat besar. Allah mengajak umat-Nya memelihara hidup dan memperoleh keselamatan. Keselamatan dari Allah berarti hidup bersatu dengan Allah. Sebagai umat Kristen seharusnya kita menjunjung tinggi nilai kehidupan, oleh sebab itu hidup harus disyukuri, sebab hidup mati kita adalah milik Tuhan dan jika tidak Euthanasia bukan berarti menolak takdir Allah karena tanpa melepas alat bantupun jika ajalnya sudah tiba maka si pasien pasti meninggal. Pada dasarnya secara moral praktek Euthanasia tidak dapat dibenarkan baik alasan penderitaan maupun ekonomi sebab manusia adalah makhluk mulia yang mampu menahan derita yang lebih penting daripada materi dan pada dasarnya Kode Etik kedokteran Indonesia melarang adanya tindakan Euthanasia Aktif karena dokter adalah orang yang bertugas menyelamatkan atau memelihara kehidupan bukan bertindak sebagai penentu kehidupan bukan bertindak sebagai penentu kehidupan dan bukan hanya pada dokter saja, pasien dan keluarga juga tidak diperkenankan untuk melakukan Euthanasia Aktif karena “kematian adalah hak Tuhan”.
Sebagai orang Kristen seharusnya kita menghibur orang yang sakit untuk bertahan dalam penderitaan dan menyakinkan untuk menghadapi kematian dengan sukacita karena iman kepada Kristus, sehingga jelas sekali bahwa Euthanasia merupakan tindakan yang tidak menghargai anugerah hidup yang Allah berikan kepada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Borong, Dr. Robert. P, Kapita Selekta Bioetik-Perspektif Kristiani, Bandung: Jurnal Info Media, 2007.
Carm, Dr. Piet Go.O, Euthanasia: Beberapa soal Ethis Akhir hidup menurut Gereja Katholik, Malang: Dioma, 1990.
Karyadi, Petrus Yoyo, Euthanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Media Persindo, 2001.
Yuantoro, F.A. Eka, MSF, Euthanasia, Jakarta: Obor, 2005.
Etika Budaya Batak
Etika Budaya Batak
“Dalihan Na Tolu”
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di Indonesia. Suku Batak berasal dari Pulau Sumatera. Suku Batak itu sendiri terbagi dalam enam suku yaitu suku Batak Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Angkola, dan suku Batak Mandailing. Pengertian Batak menurut J. Warneck, batak berarti ‘penunggang kuda yang lincah’ akan tetapi menurut H.N. Van der Tuuk, batak berarti ‘kafir’. Sehingga sampai detik ini pengertian Batak sampai sekarang belum dapat di jelaskan secara pasti dan memuaskan. Suku Batak memiliki Adat istiadat, Bahasa, Nyanyian, Etika dan Filsafat. Ada satu kutipan yang bertuliskan, “ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya, Suku yang besar adalah suku yang menghargai adat dan budayanya.” Akan tetapi untuk menyelesaikan Ujian Tengah Semester pada mata kuliah Etika Kristiani lebih fokus membahas mengenai Etika Dalihan Natolu.
1.2 Perumusan Masalah.
Perumusan atau pembatasan masalah yang diangakat oleh penulis adalah mengenai etika etnis Batak. Dalam tulisan ini, penulis menjabarkan terlebih dahulu mengenai Asal mula Suku Batak. Setelah itu penulis kemudian menjabarkan isi dari etika etnis Batak beserta dengan unsur-unsur dan kepercyaan dalam suku Batak
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan.
Sebagai suku Batak ternyata masih banyak yang belum mengetahui asal-usul suku Batak dan belum mengetahui bahwa sebelum agama Kristen masuk ke tanah Batak, ternyata suku Batak sudah memiliki sistem kepercayaan yang disebut Agama Suku dan yang terutama belum mengetahui Etika dari budaya Batak, Dalihan Na tolu seringkali disebut-sebutkan akan tetapi banyak yang belum mengetahui unsur-unsur etika Dalihan Na Tolu tersebut.
Oleh sebab itu dalam tulisan ini, penulis berharap bahwa tulisan ini dapat sebagai tambahan informasi dan dapat bermanfaat khususnya suku Batak untuk mengetahui asal-usul suku Batak, walaupun tidak menutup kemungkinan pengetahuan bagi etnis lainnya.
2. Isi
2.1 Asal Mula Suku Batak.
Menurut mitologi Batak di sebelah barat-laut Danau Toba terdapat gunung Pusuk Buhit yang diyakini sebagai tempat asal suku Batak. Etnis Batak percaya kepada Allah Yang Esa, yang di sebut Mulajadi Na Bolon, yang menjadi awal dari segala yang ada; Dialah Yang Mahatinggi, Allah yang oleh suku Batak dipercayai sebagai Allah dari segala ilah yang menjadikan langit, bumi, dan segala isinya. Suku Batak juga meyakini Mula Jadi Na Bolon berkuasa menjadikan yang ada dari yang tiada dan suku Batak meyakini bahwa singgasana Mulajadi Na Bolon berada di atas langit ketujuh. Keyakinan tersebut dapat diketahui pada saat upacara Martonggo (memanggil sang ilah) yang berbunyi, “Daompung Debata na tolu, na tolu suhu, na tolu harajaon sian langit na pitu tindi, sian ombun na pitu lapis”, yang artinya: “Allah Yang Maha Agung, yang tiga rupa, yang menguasai tiga kehidupan, yang berkuasa atas tiga kerajaan yang terdapat di langit yang ketujuh tingkat dan di atas awan-awan yang terdiri dari tujuh lapis”.
Menurut sejarah, suku Batak mengenal burung layang-layang berkedudukan seperti kurir atau penghubung antara langit dan bumi.Boru Deak-Parujur adalah putri dari dewa yang berada di bumi. Mula Jadi Na Bolon menyuruh burung layang-layang tersebut untuk menyerahkan lodong (poting; bambu tabung air) berisi benih kepada Boru Deak-Parujur tersebut. Setelah itu burung layang-layang menyuruh Boru Deak-Parujur agar menenun sehelai ulos ragidup (kain adat Batak) dan melilitkan ke lodong tersebut. Setelah Boru Deak-Parujur melakukan seperti yang di perintahkan burung layang-layang tersebut akhirnya muncullah seorang pria yang di sebut Tuan Mulana (yang awal). Sejak saat itu Tuan Mulana dan Boru Deak-Parujur diyakini sebagai nenek-moyang orang Batak di atas dunia ini.
2.2 Arti Kebudayaan Batak
Yang dimaksud dengan kebudayaan Batak, yaitu seluruh nilai-nilai kehidupan suku bangsa Batak di waktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya. Refleksi dari nilai-nilai kehidupan tersebut menjadi suatu cirri yang khas bagi suku bangsa Batak yakni : Keyakinan dan kepercayaan bahwa ada Maha Pencipta sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta segala sesuatu isinya, termasuk langit dan bumi.
Untuk mewujudkan keseimbangan dalam menjalankan nilai-nilai kehidupan sebagai mahluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, Tuhan Maha Pencipta sebagai titik orientasi sipritualnya, alam lingkungan sebagai objek integritasnya suku bangsa Batak telah dinaungi Patik.
Patik berfungsi sebagai batasan tatanan kehidupan untuk mencapai nilai-nilai kebenaran. Patik ditandai dengan kata Unang( Jangan), Tongka (Pantang), Sotung (Jangan Sampai), Dang Jadi (Tidak Bisa).
Sebagai akibat dari penyimpangan tatanan kehidupan yang dimaksud dibuatlah Uhum atau Hukum. Uhum (Hukum) ditandai oleh kata; Aut (jikalau), Duru (Tersingkir),
Sala (Bersalah), Baliksa (Kecuali), Hinorhon (Akibat), Laos (lewat batas), Dando (Denda), Tolon (Sumpah), Bura (Serapah), dsb.
Di dalam menjalankan kehidupannya, suku bangsa Batak terutama interaksinya antar sesama manusia dibuatlah nilai-nilai, etika maupun estetika yang dinamai Adat. Suku bangsa Batak mempunyai sistim kekerabatan yang dikenal dan hidup hingga kini yakni Partuturon. Peringatan untuk tidak melanggar Patik itu ditegaskan dengan kata Sotung (Jangan Sampai). Dan, mengharamkan segala pelanggaran terhadap aturan, yang dikenal dengan kata Subang (Pantangan).
2.3 Etika Dalihan “Na Tolu”
Bunyi dari Etika Dalian Na Tolu atau yang disebut dengan Tungku Yang Tiga adalah: Manat Mardongan Tubu, Somba Marhula-hula, Elek Marboru.
Manat Mardongan Tubu (Saling menghormati terhadap saudara sedarah). Hubungan satu sama lain diantaranya orang yang bersaudara sabutuha (se-marga) harus berhati-hati, dijaga jangan sampai konflik baik dalam perkataan maupun perbuatan. Menghindari sikap sombong atau arogansi sesama saudara (dalam konteks sedarah).
Somba Hula-hula (hormat kepada hula-hula. Leluhur orang Batak menganggap hula-hula sebagai Debata na niida, artinya Allah yang kelihatan atau sebagai wakil Allah Sang Maha Pencipta di bumi. Anggapan tersebut sampai sekarang masih terus berjalan, sehingga nasihat dan permintaan hula-hula selalu dituruti, kalau tidak, bisa terjadi malapetaka. Sebaliknya hula-hula diharapkan memberikan nasehat, petuah dan berkat kepada borunya serta mendoakan agar borunya dikaruniai hagabeon (keturunan yang banyak), hamoraon (harta/kekayaan), dan hasangapon (kehormatan). Bahkan seringkali kesuksesan suatu pesta diukur dan puas tidaknya pihak hula-hula diperlakukan borunya. Sehingga harus ada keseimbangan jika tidak terjadi keseimbangan, kadangkala ada perkataan yang muncul, “Asal ro hula-hula maneat babi, asal ro hula hula maneat babi, hula-hula babi” Maksudnya asal datang hula-hula memotong babi, asal datang hula-hula memotong babi, hula-hula babi.
Elek Marboru (membujuk atau mengayomi boru). Kehadiran boru bagaikan ‘bunga yang semerbak’ dalam pesta dan biasanya pihak boru harus disayang dan diupayakan agar permintaanya selalu terkabulkan. Pihak boru adalah penyumbang tenaga dan materi dalam pelaksanaan sebuah pesta dan pihak boru ini dibantu oleh pihak bere (anak dari boru). Sukses suatu acara adat juga tergantung dari kontribusi atau peran serta dari pihak boru dan bere.
Latar belakang pembentukan atau penciptaan lembaga Dalihan Na Tolu berbeda dari lembaga pranata adat di daerah lain di Indonesia. Dalihan Na Tolu tidak dibentuk berdasarkan komitmen atau kesepakatan, melainkan muncul sebagai kodrat karena adanya perkawinan dan marga. Marga itu melekat dalam diri individu tersebut dari pertama kali bernafas di dunia ini sampai menghembuskan nafas yang terakhir di dunia ini. Dalihan Na Tolu bagi suku Batak merupakan budaya yang tidak lapuk karena panas dan tidak luntur karena hujan, tahan uji dan selalu relevan, sudah mendarah daging sehingga Dalihan Na Tolu disebut sebagai etika deep culture.
3.1 Kesimpulan
Setelah membahas panjang lebar, penulis memiliki kesimpulan bahwa, Etika Dalihan Na Tolu harus dilestarikan.
Setelah mencermati culture dari budaya Batak ternyata dalam agama tradisional Batak banyak diilhami dari pandangan budaya, dari pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak semua budaya-budaya tradional negatif seperti paham-paham agama-agama Modern sekarang yang ingin menghilangkan sedikit demi sedikit budaya Batak seperti ulos dan uning-uningan. (musik tradisonal Batak) dalam penggunaan tata ibadah karena diaanggap penggunaannya masih dianggap untuk memanggil arwah nenek moyang atau masih bersifat magis. Semua budaya yang digunakan kalau digunakan untuk yang baik tidaka akan bersifat magis tergantung prsepsi orang, malah budaya tradisional memiliki sisi positif seperti kepercayaan Dalihan na Tolu ternyata dapat mnghilangkan kesenjangan sosial karena tidak membedakan usia, kekayaan dan kekuasaan akan tetapi sifatnya adil karena adakalanya seseorang berada di atas dan adakalanya di bawah. Jadi adat tradisional Batak jangan dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Lumban Tobing, Andar M. Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996.
Lumban Tobing, Andar M “Sahala” of Medicine Man and Theological graduate (art), dalam : The South East Asia Jurnal of Theology, vol. 4 no 3 January, 1963.
Panggabean H.P dan Sinaga Richard. Hukum Adat Dalihan Na Tolu, Jakarta : Dian Utama dan Kerabat, 2004.
Pedersen, P.B. Darah Batak dan Jiwa Protestan – Perkembangan Gereja-gereja Batak di Sumatera Utara, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1975.
Sarumpaet, Ramlan. Penggalian Tulang Belulang Orang Mati Dalam Masyarakat Batak Toba : Telaah etis teologis tentang perjumpaan injil dan kebudayaan Batak, Jakarta: Tesis di ajukan kepada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1991.
Simanjuntak, Humala. Dalihan Na Tolu: Nilai-nilai Budaya Yang Hidup, Jakarta : O.C. Kaligis & Associates, 2006.
Sirait, Jamilin. Injil dan Tata Hidup : The Gospel and Life Order Evangelium und Lebendsordnung, Pematang Siantar : STT HKBP, 2001.
Tumanggor, Raja Oloan. Catatan Mata Kuliah Pengantar Filsafat Barat, tanggal 29 Oktober 2008.
“Dalihan Na Tolu”
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di Indonesia. Suku Batak berasal dari Pulau Sumatera. Suku Batak itu sendiri terbagi dalam enam suku yaitu suku Batak Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Angkola, dan suku Batak Mandailing. Pengertian Batak menurut J. Warneck, batak berarti ‘penunggang kuda yang lincah’ akan tetapi menurut H.N. Van der Tuuk, batak berarti ‘kafir’. Sehingga sampai detik ini pengertian Batak sampai sekarang belum dapat di jelaskan secara pasti dan memuaskan. Suku Batak memiliki Adat istiadat, Bahasa, Nyanyian, Etika dan Filsafat. Ada satu kutipan yang bertuliskan, “ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya, Suku yang besar adalah suku yang menghargai adat dan budayanya.” Akan tetapi untuk menyelesaikan Ujian Tengah Semester pada mata kuliah Etika Kristiani lebih fokus membahas mengenai Etika Dalihan Natolu.
1.2 Perumusan Masalah.
Perumusan atau pembatasan masalah yang diangakat oleh penulis adalah mengenai etika etnis Batak. Dalam tulisan ini, penulis menjabarkan terlebih dahulu mengenai Asal mula Suku Batak. Setelah itu penulis kemudian menjabarkan isi dari etika etnis Batak beserta dengan unsur-unsur dan kepercyaan dalam suku Batak
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan.
Sebagai suku Batak ternyata masih banyak yang belum mengetahui asal-usul suku Batak dan belum mengetahui bahwa sebelum agama Kristen masuk ke tanah Batak, ternyata suku Batak sudah memiliki sistem kepercayaan yang disebut Agama Suku dan yang terutama belum mengetahui Etika dari budaya Batak, Dalihan Na tolu seringkali disebut-sebutkan akan tetapi banyak yang belum mengetahui unsur-unsur etika Dalihan Na Tolu tersebut.
Oleh sebab itu dalam tulisan ini, penulis berharap bahwa tulisan ini dapat sebagai tambahan informasi dan dapat bermanfaat khususnya suku Batak untuk mengetahui asal-usul suku Batak, walaupun tidak menutup kemungkinan pengetahuan bagi etnis lainnya.
2. Isi
2.1 Asal Mula Suku Batak.
Menurut mitologi Batak di sebelah barat-laut Danau Toba terdapat gunung Pusuk Buhit yang diyakini sebagai tempat asal suku Batak. Etnis Batak percaya kepada Allah Yang Esa, yang di sebut Mulajadi Na Bolon, yang menjadi awal dari segala yang ada; Dialah Yang Mahatinggi, Allah yang oleh suku Batak dipercayai sebagai Allah dari segala ilah yang menjadikan langit, bumi, dan segala isinya. Suku Batak juga meyakini Mula Jadi Na Bolon berkuasa menjadikan yang ada dari yang tiada dan suku Batak meyakini bahwa singgasana Mulajadi Na Bolon berada di atas langit ketujuh. Keyakinan tersebut dapat diketahui pada saat upacara Martonggo (memanggil sang ilah) yang berbunyi, “Daompung Debata na tolu, na tolu suhu, na tolu harajaon sian langit na pitu tindi, sian ombun na pitu lapis”, yang artinya: “Allah Yang Maha Agung, yang tiga rupa, yang menguasai tiga kehidupan, yang berkuasa atas tiga kerajaan yang terdapat di langit yang ketujuh tingkat dan di atas awan-awan yang terdiri dari tujuh lapis”.
Menurut sejarah, suku Batak mengenal burung layang-layang berkedudukan seperti kurir atau penghubung antara langit dan bumi.Boru Deak-Parujur adalah putri dari dewa yang berada di bumi. Mula Jadi Na Bolon menyuruh burung layang-layang tersebut untuk menyerahkan lodong (poting; bambu tabung air) berisi benih kepada Boru Deak-Parujur tersebut. Setelah itu burung layang-layang menyuruh Boru Deak-Parujur agar menenun sehelai ulos ragidup (kain adat Batak) dan melilitkan ke lodong tersebut. Setelah Boru Deak-Parujur melakukan seperti yang di perintahkan burung layang-layang tersebut akhirnya muncullah seorang pria yang di sebut Tuan Mulana (yang awal). Sejak saat itu Tuan Mulana dan Boru Deak-Parujur diyakini sebagai nenek-moyang orang Batak di atas dunia ini.
2.2 Arti Kebudayaan Batak
Yang dimaksud dengan kebudayaan Batak, yaitu seluruh nilai-nilai kehidupan suku bangsa Batak di waktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya. Refleksi dari nilai-nilai kehidupan tersebut menjadi suatu cirri yang khas bagi suku bangsa Batak yakni : Keyakinan dan kepercayaan bahwa ada Maha Pencipta sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta segala sesuatu isinya, termasuk langit dan bumi.
Untuk mewujudkan keseimbangan dalam menjalankan nilai-nilai kehidupan sebagai mahluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, Tuhan Maha Pencipta sebagai titik orientasi sipritualnya, alam lingkungan sebagai objek integritasnya suku bangsa Batak telah dinaungi Patik.
Patik berfungsi sebagai batasan tatanan kehidupan untuk mencapai nilai-nilai kebenaran. Patik ditandai dengan kata Unang( Jangan), Tongka (Pantang), Sotung (Jangan Sampai), Dang Jadi (Tidak Bisa).
Sebagai akibat dari penyimpangan tatanan kehidupan yang dimaksud dibuatlah Uhum atau Hukum. Uhum (Hukum) ditandai oleh kata; Aut (jikalau), Duru (Tersingkir),
Sala (Bersalah), Baliksa (Kecuali), Hinorhon (Akibat), Laos (lewat batas), Dando (Denda), Tolon (Sumpah), Bura (Serapah), dsb.
Di dalam menjalankan kehidupannya, suku bangsa Batak terutama interaksinya antar sesama manusia dibuatlah nilai-nilai, etika maupun estetika yang dinamai Adat. Suku bangsa Batak mempunyai sistim kekerabatan yang dikenal dan hidup hingga kini yakni Partuturon. Peringatan untuk tidak melanggar Patik itu ditegaskan dengan kata Sotung (Jangan Sampai). Dan, mengharamkan segala pelanggaran terhadap aturan, yang dikenal dengan kata Subang (Pantangan).
2.3 Etika Dalihan “Na Tolu”
Bunyi dari Etika Dalian Na Tolu atau yang disebut dengan Tungku Yang Tiga adalah: Manat Mardongan Tubu, Somba Marhula-hula, Elek Marboru.
Manat Mardongan Tubu (Saling menghormati terhadap saudara sedarah). Hubungan satu sama lain diantaranya orang yang bersaudara sabutuha (se-marga) harus berhati-hati, dijaga jangan sampai konflik baik dalam perkataan maupun perbuatan. Menghindari sikap sombong atau arogansi sesama saudara (dalam konteks sedarah).
Somba Hula-hula (hormat kepada hula-hula. Leluhur orang Batak menganggap hula-hula sebagai Debata na niida, artinya Allah yang kelihatan atau sebagai wakil Allah Sang Maha Pencipta di bumi. Anggapan tersebut sampai sekarang masih terus berjalan, sehingga nasihat dan permintaan hula-hula selalu dituruti, kalau tidak, bisa terjadi malapetaka. Sebaliknya hula-hula diharapkan memberikan nasehat, petuah dan berkat kepada borunya serta mendoakan agar borunya dikaruniai hagabeon (keturunan yang banyak), hamoraon (harta/kekayaan), dan hasangapon (kehormatan). Bahkan seringkali kesuksesan suatu pesta diukur dan puas tidaknya pihak hula-hula diperlakukan borunya. Sehingga harus ada keseimbangan jika tidak terjadi keseimbangan, kadangkala ada perkataan yang muncul, “Asal ro hula-hula maneat babi, asal ro hula hula maneat babi, hula-hula babi” Maksudnya asal datang hula-hula memotong babi, asal datang hula-hula memotong babi, hula-hula babi.
Elek Marboru (membujuk atau mengayomi boru). Kehadiran boru bagaikan ‘bunga yang semerbak’ dalam pesta dan biasanya pihak boru harus disayang dan diupayakan agar permintaanya selalu terkabulkan. Pihak boru adalah penyumbang tenaga dan materi dalam pelaksanaan sebuah pesta dan pihak boru ini dibantu oleh pihak bere (anak dari boru). Sukses suatu acara adat juga tergantung dari kontribusi atau peran serta dari pihak boru dan bere.
Latar belakang pembentukan atau penciptaan lembaga Dalihan Na Tolu berbeda dari lembaga pranata adat di daerah lain di Indonesia. Dalihan Na Tolu tidak dibentuk berdasarkan komitmen atau kesepakatan, melainkan muncul sebagai kodrat karena adanya perkawinan dan marga. Marga itu melekat dalam diri individu tersebut dari pertama kali bernafas di dunia ini sampai menghembuskan nafas yang terakhir di dunia ini. Dalihan Na Tolu bagi suku Batak merupakan budaya yang tidak lapuk karena panas dan tidak luntur karena hujan, tahan uji dan selalu relevan, sudah mendarah daging sehingga Dalihan Na Tolu disebut sebagai etika deep culture.
3.1 Kesimpulan
Setelah membahas panjang lebar, penulis memiliki kesimpulan bahwa, Etika Dalihan Na Tolu harus dilestarikan.
Setelah mencermati culture dari budaya Batak ternyata dalam agama tradisional Batak banyak diilhami dari pandangan budaya, dari pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak semua budaya-budaya tradional negatif seperti paham-paham agama-agama Modern sekarang yang ingin menghilangkan sedikit demi sedikit budaya Batak seperti ulos dan uning-uningan. (musik tradisonal Batak) dalam penggunaan tata ibadah karena diaanggap penggunaannya masih dianggap untuk memanggil arwah nenek moyang atau masih bersifat magis. Semua budaya yang digunakan kalau digunakan untuk yang baik tidaka akan bersifat magis tergantung prsepsi orang, malah budaya tradisional memiliki sisi positif seperti kepercayaan Dalihan na Tolu ternyata dapat mnghilangkan kesenjangan sosial karena tidak membedakan usia, kekayaan dan kekuasaan akan tetapi sifatnya adil karena adakalanya seseorang berada di atas dan adakalanya di bawah. Jadi adat tradisional Batak jangan dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Lumban Tobing, Andar M. Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996.
Lumban Tobing, Andar M “Sahala” of Medicine Man and Theological graduate (art), dalam : The South East Asia Jurnal of Theology, vol. 4 no 3 January, 1963.
Panggabean H.P dan Sinaga Richard. Hukum Adat Dalihan Na Tolu, Jakarta : Dian Utama dan Kerabat, 2004.
Pedersen, P.B. Darah Batak dan Jiwa Protestan – Perkembangan Gereja-gereja Batak di Sumatera Utara, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1975.
Sarumpaet, Ramlan. Penggalian Tulang Belulang Orang Mati Dalam Masyarakat Batak Toba : Telaah etis teologis tentang perjumpaan injil dan kebudayaan Batak, Jakarta: Tesis di ajukan kepada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1991.
Simanjuntak, Humala. Dalihan Na Tolu: Nilai-nilai Budaya Yang Hidup, Jakarta : O.C. Kaligis & Associates, 2006.
Sirait, Jamilin. Injil dan Tata Hidup : The Gospel and Life Order Evangelium und Lebendsordnung, Pematang Siantar : STT HKBP, 2001.
Tumanggor, Raja Oloan. Catatan Mata Kuliah Pengantar Filsafat Barat, tanggal 29 Oktober 2008.
Mengapa kita tidak boleh member penilaian baik atau buruk terhadap kebudayaan orang lain?
Universitas Kristen Satya Wacana
Fakultas Teologi
Mengapa kita tidak boleh member penilaian baik atau buruk terhadap kebudayaan orang lain?
Kata kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang artinya budi atau akal, sehingga dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah culture yang diartikan sebagai segala usaha manusia untuk mengolah dan menggunakan alam. Pengertian tersebut kemudian diperdalam oleh antropolog, yaitu E.B Tylor (1871) yang dapat disimpulkan bahwa kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normative yang dapat diartikan mencakup segala cara-cara dan pola berfikir merasakan dan bertindak. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tak ada manusia yang tidak memiliki kebudayaan dan begitu juga sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa adanya suatu manusia atau suatu kelompok masyarakat.
Kebudayaan itu sendiri menurut dua orang Antropolog, yaitu Malville J.Herkovits dan Bronslaw Malinowski menyompulkan bahwa Cultural Determinism yang artinya segala seuatu yang dimiliki oleh masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyakat, atau secara gamblang dapat dikatakan bahwa kebudayaan tersebut adalah buatan manusia.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, bahwa kebudayaan tersebut merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dan hasil cipta masyarakat tersebut menghasilkan teknologi dan kebudayaan jasmaniah (material culture). Yang digunakan manusia untuk menguasai alam sehingga hasilnya digunakan untuk keperluan masyarakat.
Rasa yang ada pada manusia dalam membentuk kebudayaan untuk mewujutkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan. Rasa tersebut meliputi agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur dari ekspresi jiwa manusia di dalam anggota masyarakat.
Sedangkan cipta itu sendiri merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Wujut dari cipta itu sendiri berwujut teori murni dan suatu kelompok masyarakat yang telah disusun agar langsung diamalkan.
Semua karsa, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaanya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau dengan seluruh masyarakat . Kalau diperkecil lagi bahwa Kebudayaan itu merupakan buatan manusia, sedangkan yang membentuk manusia agar membentuk kebudayaan adalah segi material, dan segi spiritual.
Segi material itu sendiri adalah kemampuan manusia untuk menghasilkan seuatu agar berwujut suatu benda, sedangkan segi spiritual manusia mengandung yang menghasilkan ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, hukum, keindahan. Manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dari logika sedangkan menyelaraskan perilaku melaui etika, dan keindahan didapatkan melalui estetika.
Unsur-unsur dari kebudayaan disimpulkan menjadi satu kesatuan yang disebut cultural universals. Bagian-bagian dari Cultural Universals adalah:
1 Peralatan dan perlengkapan hidup manusia.
2 Mata pencaharian dan sistem ekonomi.
3 Sistem kemasyarakatan.
4 Bahasa
5 Kesenian
6 Sistem pengetahuan
7 Religi.
Fungsi Kebudayaan itu sendiri bagi masyarakat adalah bahwa manusia memerlukan kepuasaan dibidang spiritual dan materil yhang tidak didapatkannya dari kekuataan alam, kekuatan yang terdapat dalam masyarakat yang tidak baik terhadap dirinya, sehingga hasil karya masyarakat tersebut membentuk Kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan melindungi masyarakat terhadap lingkungannya, karena hakekat dari kebudayaan tersebut mencakup aturan-aturan yang berisi kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang dan diijinkan.
Mempelajari Kebudayaan tidak untuk dijelaskan (to be expleained), bukan untuk dipahami (to be understood), dan tepatnya untuk ditafsirkan (to be interpreted) dan di beri makna tertentu, sehingga kita dapat menilai baik atau buruk kebudayaan daerah lain karena, tiap daerah berbeda keyakinan, pandangan hidup, filsafat, pengajaran, tergantung tingkat ilmu pengetahuan dan pola berfikir masyarakat tersebut dan Kebudayaan itu tujuaanya mulia, karena kebudayaan di gunakan untuk sebagian besar masyarakat dan kebudayaan dibuat sebagai norma-norma yang mencakup norma-norma aturan untuk menata kehidupan seluruh masyarakat dan kebudayaan digunakan sebagai pembatas tingkah laku dan norma-norma bertindak.
DAFTAR PUSTAKA
.
Abdullah, Taufik (ed). Ilmu Sosial dan Tantangan Jaman. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006.
Selo, Soemardjan dan Soelaeman, Soemardi (ed). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1974
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Penghantar. Jakarta: PT Raja Grafindo, 1998.
Fakultas Teologi
Mengapa kita tidak boleh member penilaian baik atau buruk terhadap kebudayaan orang lain?
Kata kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang artinya budi atau akal, sehingga dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah culture yang diartikan sebagai segala usaha manusia untuk mengolah dan menggunakan alam. Pengertian tersebut kemudian diperdalam oleh antropolog, yaitu E.B Tylor (1871) yang dapat disimpulkan bahwa kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normative yang dapat diartikan mencakup segala cara-cara dan pola berfikir merasakan dan bertindak. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tak ada manusia yang tidak memiliki kebudayaan dan begitu juga sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa adanya suatu manusia atau suatu kelompok masyarakat.
Kebudayaan itu sendiri menurut dua orang Antropolog, yaitu Malville J.Herkovits dan Bronslaw Malinowski menyompulkan bahwa Cultural Determinism yang artinya segala seuatu yang dimiliki oleh masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyakat, atau secara gamblang dapat dikatakan bahwa kebudayaan tersebut adalah buatan manusia.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, bahwa kebudayaan tersebut merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dan hasil cipta masyarakat tersebut menghasilkan teknologi dan kebudayaan jasmaniah (material culture). Yang digunakan manusia untuk menguasai alam sehingga hasilnya digunakan untuk keperluan masyarakat.
Rasa yang ada pada manusia dalam membentuk kebudayaan untuk mewujutkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan. Rasa tersebut meliputi agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur dari ekspresi jiwa manusia di dalam anggota masyarakat.
Sedangkan cipta itu sendiri merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Wujut dari cipta itu sendiri berwujut teori murni dan suatu kelompok masyarakat yang telah disusun agar langsung diamalkan.
Semua karsa, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaanya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau dengan seluruh masyarakat . Kalau diperkecil lagi bahwa Kebudayaan itu merupakan buatan manusia, sedangkan yang membentuk manusia agar membentuk kebudayaan adalah segi material, dan segi spiritual.
Segi material itu sendiri adalah kemampuan manusia untuk menghasilkan seuatu agar berwujut suatu benda, sedangkan segi spiritual manusia mengandung yang menghasilkan ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, hukum, keindahan. Manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dari logika sedangkan menyelaraskan perilaku melaui etika, dan keindahan didapatkan melalui estetika.
Unsur-unsur dari kebudayaan disimpulkan menjadi satu kesatuan yang disebut cultural universals. Bagian-bagian dari Cultural Universals adalah:
1 Peralatan dan perlengkapan hidup manusia.
2 Mata pencaharian dan sistem ekonomi.
3 Sistem kemasyarakatan.
4 Bahasa
5 Kesenian
6 Sistem pengetahuan
7 Religi.
Fungsi Kebudayaan itu sendiri bagi masyarakat adalah bahwa manusia memerlukan kepuasaan dibidang spiritual dan materil yhang tidak didapatkannya dari kekuataan alam, kekuatan yang terdapat dalam masyarakat yang tidak baik terhadap dirinya, sehingga hasil karya masyarakat tersebut membentuk Kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan melindungi masyarakat terhadap lingkungannya, karena hakekat dari kebudayaan tersebut mencakup aturan-aturan yang berisi kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang dan diijinkan.
Mempelajari Kebudayaan tidak untuk dijelaskan (to be expleained), bukan untuk dipahami (to be understood), dan tepatnya untuk ditafsirkan (to be interpreted) dan di beri makna tertentu, sehingga kita dapat menilai baik atau buruk kebudayaan daerah lain karena, tiap daerah berbeda keyakinan, pandangan hidup, filsafat, pengajaran, tergantung tingkat ilmu pengetahuan dan pola berfikir masyarakat tersebut dan Kebudayaan itu tujuaanya mulia, karena kebudayaan di gunakan untuk sebagian besar masyarakat dan kebudayaan dibuat sebagai norma-norma yang mencakup norma-norma aturan untuk menata kehidupan seluruh masyarakat dan kebudayaan digunakan sebagai pembatas tingkah laku dan norma-norma bertindak.
DAFTAR PUSTAKA
.
Abdullah, Taufik (ed). Ilmu Sosial dan Tantangan Jaman. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006.
Selo, Soemardjan dan Soelaeman, Soemardi (ed). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1974
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Penghantar. Jakarta: PT Raja Grafindo, 1998.
MAKALAH KEDUDUKAN DAN PERAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA, PANDANGAN HIDUP, dan IDEOLOGI NASIONAL
MAKALAH KEDUDUKAN DAN PERAN PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA, PANDANGAN HIDUP, dan IDEOLOGI NASIONAL
DISUSUN OLEH
TUMPAL MARTHIN H. SIRAIT
712009036
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
FAKULTAS TEOLOGI
2009
Kata Pengantar
Pertama-tama Puji penulis ingin mengucap sukur atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena bimbingan-Nya akhirnya penukis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul : Kedudukan dan peran Pancasila sebagai Dasar Negara, Pandangan Hidup, dan Ideologi Nasional ini. Dalam makalah ini penulis memberikan gambaran mengenai fungsi serta peran Pancasila sebagai Dasar Negara, Pandangan Hidup, dan Ideologi Nasional.
Pada kesempatan ini penulis secara khusus tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas bimbingan dari Pak David selaku dosen pengampu Pendidikan Pancasila, selain itu penulis juga tak lupa mengucapkan terimakasih pada teman-teman angkatan 2009 UKSW Fakultas Teologi serta pada pihak yang baik secara langsung maupun tidak lansung yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Penulis juga menyadari bahwa penulis makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu maka penulis mengharapkan kritik, saran dan tanggapan dari pembaca, sehingga kedepanya penulis bisa menjadi lebih baik dan bermanfaat dalam bahan pembelajaran maupun sebagai literatur.
Salatiga, 28 September 2009
Tumpal Marthin. H. Sirait
712009036
Bab I
Pendahuluan
Bagi bangsa Indonesia Pancasila bukanlah sesuatu yang asing, karena pengenalan Pancasila sudah diperkenalkan di bangku sekolah dasar yang dulu kita kenal dengan Pendidikan Moral Pancasila yang pada akhirnya berganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau yang disingkat dengan PPKn. Pancasila itu sendiri terdiri atas 5 (lima) sila yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV dan diperuntukan sebagai dasar begara Republik Indonesia. Dan ke 5 (lima) sila yang dimaksudkan adalah Pancasila sebagai dasar negara.
Kini di era Reformasi, para pengamat politik dan masyarakat awam khususnya memiliki paradigma bahwa Pacasila dianggap sebagai bentuk keinginan untuk kembali ke masa Orde Baru . Paradigma itu sendiri muncul akibat pada masa Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai Legitimasi Ideologis dalam rangka mempertahankan dan memperluas kekuasannya segara masif, dan pada akhirnya Pancasila dijadikan kambing hitam bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru karena Pancasila dianggap ikut dalam masa Orde Baru sehingga Pancasila dipersalahkan dan pantas menanggung beban akibat kesalahan sebuah kekuasan .
Ternyata yang paling menyedihkan, Pancasila dijadikan alat sekelompok yang berkuasa sebagai dasar untuk membuat penguasa tersebut berbuat semena-mena dan Pancasila dijadikan alat untuk memperkokoh kekuasaannya. Padahal dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbegara dan didalamnya mengandung makna ideologi nasional sebagai cita – cita dan tujuan negara.
Oleh karena itu, kajian Pancasila pada awal bab ini berpijak dari kedudukan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi negara Republik Indonesia. Dengan Demikian pada bab ini meliputi pengkajian hal – hal sebagai berikut :
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
2. Pandangan Hidup
3. Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Bab II
ISI
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila merupakan dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, dasar negara merupakan tempat bergantung atau dengan kata lain Pancasila adalah sumber dari konstitusi negara. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menjadi sumber norma bagi UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Menurut Prof. Hamid S.Attamimi Pancasila adalah cita Hukum yang menguasai hukum dasar negara baik tertulis maupun tidak tertulis. Operasionalisasi Pancasila sebagai dsar ( filsafat ) negara diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum ( legal order ) dimana Pancasila sebagai norma dasarnya.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini merupakan kedudukan yuridis formal oleh karena tertuang dalam ketentuan hukum negara, dalam hal ini UUD 1945 pada Pembukaan Alenia IV. Secara historis pula dinyatakan bahwa Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers) itu dimaksudkan untuk menjadi dasarnya Indonesia merdeka.
Konsekuensi dari rumusan demikian berarti seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintah negara Indonesia termasuk peraturan perundang-undangan merupakan pencerminan dari nilai-nilai Pancasila. Penyelenggaraan bernegara mengacu dan memiliki tolok ukur, yaitu tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan. Oprasionalisasi Pancasila sebagai dasar negara diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum (legal order) dimana Pancasila menjadi norma dasarnya.
Pancasila sebagai dasar Negara juga mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan keutuhannya dalam Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :
Dimensi Realitasnya, dalam arti nilai yang terkandung didalamnya dikonkretisasikan sebagai cerminan objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Dimensi idealitasnya, dalam arti idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektifkan sebagai sebuah “kata kerja” untuk menggairahkan masyarakat dan terutama para penyelenggara Negara menuju hari esok yang lebih baik.
Dimensi Fleksibilitasnya, dalam arti Pancasila bukan barang yang beku, dogmatis dan sudah selesai. Pancasila terbuka bagi Tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus berubah. Pancasila tanpa kehilangan nilai dasarnya yang hakiki tetap actual, relevan dan fungsional sebagai tiang penyangga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
2. PANDANGAN HIDUP
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika atau yang kita kenal dengan bahasa sansekerta yang mengandung arti, meskipun bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya dan bahasa, tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia itu satu sebagai bangsa. Secara konsepsional, keragaman budaya itu merupakan asset bangsa, oleh karena itu perbedaan tidak harus dipersoalkan, sepanjang perbedaan itu dalam kerangka persatuan. Sehingga sering kali Bhineka Tunggal Ika disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, sehingga setiap pandangan hidup warga bangsa dijamin eksistensinya. Setiap warga negara dijamin oleh Undang-Undang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Data sejarah bangsa menunjukkan bahwa aspirasi Islam sebagai way of life tak pernah berhenti terlibat dalam pergumulan ideologis, termasuk dalam proses perumusan UUD 45, dan kesemuanya berjalan sangat wajar karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Oleh karena itu tak bisa dipungkiri bahwa di dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya terkandung butir-butir pandangan hidup Islam. Pandangan hidup dapat terungkap jika kita dapat memahami masalah hidup yang pada garis besarnya meliputi tiga permasalahan, yaitu:
(a) pandangan hidup,
(b) Pola Hidup, dan
(c) Etika hidup.
3. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
Istilah Ideologi pertama kali dipergunakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18, dan pengertiannya kemudian berkembang selama abad 19. oleh de Tracy Ideologi diartikan sebagai ilmu tentang gagasan atau ide-ide. Pada masa itu kelahiran konsep ideologi terkait erat dengan upaya kaum Borjuis membebaskan diri dari kungkungan faham feodal dan beralih ke pemikiran kritis modern. Oposisi politik terhadap tuan tanah aristokrat pada waktu itu dibarengi dengan kritik terhadap ajaran-ajaran pembenar bagi kekuasaan kaum aristokrat.
Ternyata pada akhirnya istilah Ideologi mengalami perluasan makna dan mempunyai lebih dari satu pengertian. Pengertian ideologi menurut Karl Marx misalnya berbeda dengan pengertian menurut Louis Althusser. Menurut Karl Marx, Ideologi adalah pandangan hidup (segala ajaran tentang masyarakat dan negara) yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas tertentu dalam bidang politik atau sosial. Ideologi adalah “bangunan atas” yang didirikan atas basis ekonomi yang menentukan coraknya. Oleh karena itu ideologi sesungguhnya mencerminkan pola ekonomi tertentu. Dalam kontes cara pandang pertentangan antar kelas, maka ideologi dipahami sebagai pandangan hidup yang diciptakan kelas berkuasa untuk merepresi kelas yang dikuasainya. Bagi Louis Althusser, ideologi adalah pandangan hidup dengan mana manusia menjalankan hidupnya.
Sebagai ideologi nasional bangsa indonesia, Pancasila (Oesman, 1992-144) dapat memainkan peran sebagai berikut:
a. Mempersatukan bangsa, memelihara dan mengukuhkan persatuan dan kesatuan itu. Fungsi ini amat penting bagi bangsa indonesia karena sebagai masyarakat majemuk sering terancam perpecahan.
b. Membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. Pancasila memberi gambaran cita-cita (dimensi idealisme) bangsa, sekaligus menjadi sumber motivasi dan tekad perjuangan mencapai cita-cita, menggerakkan bangsa melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila.
c. Memberikan tekad untuk memelihara dan mengembangkan identitas bangsa. Pancasila memberikan gambaran identitas bangsa indonesia, sekaligus memberi dorongan untuk Nation and character building berdasarkan Pancasila. Dalam era globalisasi saat ini, fungsi diatas sangat penting.
d. menyoroti kenyataan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita-cita yang terkandung dalam pancasila itu.
Frans Magnis Suseno (1994: 366) menyebutkan bahwa ada dua pengertian ideologi yaitu:
(a) ideologi dalam arti luas.
(b) ideologi dalam arti sempit.
Dalam arti luas ideologi adalah segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit ideologi adalah gagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Menurut Suseno, arti kata ideologi yang luas kurang tepat, sedangkan yang sempit merupakan arti yang tepat atau sebenarnya.
Ideologi dapat menjadi idelogi tertutup apabila gagasan-gagasan yang ada di dalamnya dimutlakan dan bersifat totaliter. Sebaliknya ideologi akan menjadi ideologi terbuka apabila isinya tidak langsung operasional, melainkan selalu memerlukan penafsiran ulang. Setiap generasi baru harus menggali kembali falsafah negara itu dan mencari apa implikasi bagi situasinya sendiri.
Sebagai ideologi nasional Pancasila hakikatnya memuat gagasan tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia mengelola kehidupan kenegaraannya. Rumusan-rumusan dalam Pancasila memang tidak langsung operasional. Oleh karena itu adalah kewajiban bangsa untuk selalu melakukan penafsiran ulang terhadap Pancasila sesuai dengan perkembangan zaman.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Pancasila merupakan dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, dasar negara menjadi tempat bergantung atau sumber dari konstitusi negara.
Dengan demikian kita yakin bahwa Pancasila adalah satu-satunya sumber dari segala sumber hukum di Negara Indonesia yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945.
Saran
Dalam makalah ini penulis menginginkan agar para pembaca tau bahwa Pancasila adalah dasar negara sehingga para pembaca tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai kambing hitam atas kesalahan para penguasa Orde Baru yang menjadikan Pancasila menjadi cacat hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Heukan. S.J dkk, Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1988.
Suroso. Bambang S.Sulasmono. Mengkaji Ulang Dasar Negara Pancasila, Salatiga: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kewarganegaraan dan Demokrasi Jurusan Studi PPKn – FKIP – UKSW, 2000.
Internet:
http://mubarok-institute.blogspot.com Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
SEBAGAI DASAR NEGARA, PANDANGAN HIDUP, dan IDEOLOGI NASIONAL
DISUSUN OLEH
TUMPAL MARTHIN H. SIRAIT
712009036
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
FAKULTAS TEOLOGI
2009
Kata Pengantar
Pertama-tama Puji penulis ingin mengucap sukur atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena bimbingan-Nya akhirnya penukis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul : Kedudukan dan peran Pancasila sebagai Dasar Negara, Pandangan Hidup, dan Ideologi Nasional ini. Dalam makalah ini penulis memberikan gambaran mengenai fungsi serta peran Pancasila sebagai Dasar Negara, Pandangan Hidup, dan Ideologi Nasional.
Pada kesempatan ini penulis secara khusus tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas bimbingan dari Pak David selaku dosen pengampu Pendidikan Pancasila, selain itu penulis juga tak lupa mengucapkan terimakasih pada teman-teman angkatan 2009 UKSW Fakultas Teologi serta pada pihak yang baik secara langsung maupun tidak lansung yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Penulis juga menyadari bahwa penulis makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu maka penulis mengharapkan kritik, saran dan tanggapan dari pembaca, sehingga kedepanya penulis bisa menjadi lebih baik dan bermanfaat dalam bahan pembelajaran maupun sebagai literatur.
Salatiga, 28 September 2009
Tumpal Marthin. H. Sirait
712009036
Bab I
Pendahuluan
Bagi bangsa Indonesia Pancasila bukanlah sesuatu yang asing, karena pengenalan Pancasila sudah diperkenalkan di bangku sekolah dasar yang dulu kita kenal dengan Pendidikan Moral Pancasila yang pada akhirnya berganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau yang disingkat dengan PPKn. Pancasila itu sendiri terdiri atas 5 (lima) sila yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV dan diperuntukan sebagai dasar begara Republik Indonesia. Dan ke 5 (lima) sila yang dimaksudkan adalah Pancasila sebagai dasar negara.
Kini di era Reformasi, para pengamat politik dan masyarakat awam khususnya memiliki paradigma bahwa Pacasila dianggap sebagai bentuk keinginan untuk kembali ke masa Orde Baru . Paradigma itu sendiri muncul akibat pada masa Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai Legitimasi Ideologis dalam rangka mempertahankan dan memperluas kekuasannya segara masif, dan pada akhirnya Pancasila dijadikan kambing hitam bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru karena Pancasila dianggap ikut dalam masa Orde Baru sehingga Pancasila dipersalahkan dan pantas menanggung beban akibat kesalahan sebuah kekuasan .
Ternyata yang paling menyedihkan, Pancasila dijadikan alat sekelompok yang berkuasa sebagai dasar untuk membuat penguasa tersebut berbuat semena-mena dan Pancasila dijadikan alat untuk memperkokoh kekuasaannya. Padahal dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbegara dan didalamnya mengandung makna ideologi nasional sebagai cita – cita dan tujuan negara.
Oleh karena itu, kajian Pancasila pada awal bab ini berpijak dari kedudukan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi negara Republik Indonesia. Dengan Demikian pada bab ini meliputi pengkajian hal – hal sebagai berikut :
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
2. Pandangan Hidup
3. Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Bab II
ISI
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila merupakan dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, dasar negara merupakan tempat bergantung atau dengan kata lain Pancasila adalah sumber dari konstitusi negara. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menjadi sumber norma bagi UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Menurut Prof. Hamid S.Attamimi Pancasila adalah cita Hukum yang menguasai hukum dasar negara baik tertulis maupun tidak tertulis. Operasionalisasi Pancasila sebagai dsar ( filsafat ) negara diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum ( legal order ) dimana Pancasila sebagai norma dasarnya.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini merupakan kedudukan yuridis formal oleh karena tertuang dalam ketentuan hukum negara, dalam hal ini UUD 1945 pada Pembukaan Alenia IV. Secara historis pula dinyatakan bahwa Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers) itu dimaksudkan untuk menjadi dasarnya Indonesia merdeka.
Konsekuensi dari rumusan demikian berarti seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintah negara Indonesia termasuk peraturan perundang-undangan merupakan pencerminan dari nilai-nilai Pancasila. Penyelenggaraan bernegara mengacu dan memiliki tolok ukur, yaitu tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan. Oprasionalisasi Pancasila sebagai dasar negara diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum (legal order) dimana Pancasila menjadi norma dasarnya.
Pancasila sebagai dasar Negara juga mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan keutuhannya dalam Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :
Dimensi Realitasnya, dalam arti nilai yang terkandung didalamnya dikonkretisasikan sebagai cerminan objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Dimensi idealitasnya, dalam arti idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektifkan sebagai sebuah “kata kerja” untuk menggairahkan masyarakat dan terutama para penyelenggara Negara menuju hari esok yang lebih baik.
Dimensi Fleksibilitasnya, dalam arti Pancasila bukan barang yang beku, dogmatis dan sudah selesai. Pancasila terbuka bagi Tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus berubah. Pancasila tanpa kehilangan nilai dasarnya yang hakiki tetap actual, relevan dan fungsional sebagai tiang penyangga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
2. PANDANGAN HIDUP
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika atau yang kita kenal dengan bahasa sansekerta yang mengandung arti, meskipun bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya dan bahasa, tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia itu satu sebagai bangsa. Secara konsepsional, keragaman budaya itu merupakan asset bangsa, oleh karena itu perbedaan tidak harus dipersoalkan, sepanjang perbedaan itu dalam kerangka persatuan. Sehingga sering kali Bhineka Tunggal Ika disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, sehingga setiap pandangan hidup warga bangsa dijamin eksistensinya. Setiap warga negara dijamin oleh Undang-Undang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Data sejarah bangsa menunjukkan bahwa aspirasi Islam sebagai way of life tak pernah berhenti terlibat dalam pergumulan ideologis, termasuk dalam proses perumusan UUD 45, dan kesemuanya berjalan sangat wajar karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Oleh karena itu tak bisa dipungkiri bahwa di dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya terkandung butir-butir pandangan hidup Islam. Pandangan hidup dapat terungkap jika kita dapat memahami masalah hidup yang pada garis besarnya meliputi tiga permasalahan, yaitu:
(a) pandangan hidup,
(b) Pola Hidup, dan
(c) Etika hidup.
3. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
Istilah Ideologi pertama kali dipergunakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18, dan pengertiannya kemudian berkembang selama abad 19. oleh de Tracy Ideologi diartikan sebagai ilmu tentang gagasan atau ide-ide. Pada masa itu kelahiran konsep ideologi terkait erat dengan upaya kaum Borjuis membebaskan diri dari kungkungan faham feodal dan beralih ke pemikiran kritis modern. Oposisi politik terhadap tuan tanah aristokrat pada waktu itu dibarengi dengan kritik terhadap ajaran-ajaran pembenar bagi kekuasaan kaum aristokrat.
Ternyata pada akhirnya istilah Ideologi mengalami perluasan makna dan mempunyai lebih dari satu pengertian. Pengertian ideologi menurut Karl Marx misalnya berbeda dengan pengertian menurut Louis Althusser. Menurut Karl Marx, Ideologi adalah pandangan hidup (segala ajaran tentang masyarakat dan negara) yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas tertentu dalam bidang politik atau sosial. Ideologi adalah “bangunan atas” yang didirikan atas basis ekonomi yang menentukan coraknya. Oleh karena itu ideologi sesungguhnya mencerminkan pola ekonomi tertentu. Dalam kontes cara pandang pertentangan antar kelas, maka ideologi dipahami sebagai pandangan hidup yang diciptakan kelas berkuasa untuk merepresi kelas yang dikuasainya. Bagi Louis Althusser, ideologi adalah pandangan hidup dengan mana manusia menjalankan hidupnya.
Sebagai ideologi nasional bangsa indonesia, Pancasila (Oesman, 1992-144) dapat memainkan peran sebagai berikut:
a. Mempersatukan bangsa, memelihara dan mengukuhkan persatuan dan kesatuan itu. Fungsi ini amat penting bagi bangsa indonesia karena sebagai masyarakat majemuk sering terancam perpecahan.
b. Membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. Pancasila memberi gambaran cita-cita (dimensi idealisme) bangsa, sekaligus menjadi sumber motivasi dan tekad perjuangan mencapai cita-cita, menggerakkan bangsa melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila.
c. Memberikan tekad untuk memelihara dan mengembangkan identitas bangsa. Pancasila memberikan gambaran identitas bangsa indonesia, sekaligus memberi dorongan untuk Nation and character building berdasarkan Pancasila. Dalam era globalisasi saat ini, fungsi diatas sangat penting.
d. menyoroti kenyataan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita-cita yang terkandung dalam pancasila itu.
Frans Magnis Suseno (1994: 366) menyebutkan bahwa ada dua pengertian ideologi yaitu:
(a) ideologi dalam arti luas.
(b) ideologi dalam arti sempit.
Dalam arti luas ideologi adalah segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit ideologi adalah gagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Menurut Suseno, arti kata ideologi yang luas kurang tepat, sedangkan yang sempit merupakan arti yang tepat atau sebenarnya.
Ideologi dapat menjadi idelogi tertutup apabila gagasan-gagasan yang ada di dalamnya dimutlakan dan bersifat totaliter. Sebaliknya ideologi akan menjadi ideologi terbuka apabila isinya tidak langsung operasional, melainkan selalu memerlukan penafsiran ulang. Setiap generasi baru harus menggali kembali falsafah negara itu dan mencari apa implikasi bagi situasinya sendiri.
Sebagai ideologi nasional Pancasila hakikatnya memuat gagasan tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia mengelola kehidupan kenegaraannya. Rumusan-rumusan dalam Pancasila memang tidak langsung operasional. Oleh karena itu adalah kewajiban bangsa untuk selalu melakukan penafsiran ulang terhadap Pancasila sesuai dengan perkembangan zaman.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Pancasila merupakan dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, dasar negara menjadi tempat bergantung atau sumber dari konstitusi negara.
Dengan demikian kita yakin bahwa Pancasila adalah satu-satunya sumber dari segala sumber hukum di Negara Indonesia yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945.
Saran
Dalam makalah ini penulis menginginkan agar para pembaca tau bahwa Pancasila adalah dasar negara sehingga para pembaca tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai kambing hitam atas kesalahan para penguasa Orde Baru yang menjadikan Pancasila menjadi cacat hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Heukan. S.J dkk, Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1988.
Suroso. Bambang S.Sulasmono. Mengkaji Ulang Dasar Negara Pancasila, Salatiga: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kewarganegaraan dan Demokrasi Jurusan Studi PPKn – FKIP – UKSW, 2000.
Internet:
http://mubarok-institute.blogspot.com Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Belajar Mencintai Dari Cicak
Belajar Mencintai Dari Cicak
Oleh : Tumpal Marthin H. Sirait *
Happy Valentine pertama saya ucapkan, di hari yang indah ini kita semua merayakan yang di sebut dengan Hari Kasih Sayang atau Valentine days. Dalam renungan kali ini saya tidak akan membahas asal muasal hari Valentine karena menurut saya semua pasti sudah mengetahui dan sudah tidak relevan lagi untuk di bahas. Akan tetapi dalam renungan kali ini bertujuan bagaimana hari Valentine tersebut berdampak dalam kehidupan selanjutnya untuk itu saya akan memberikan sebuah ilustrasi bagaiman cara belajar mencintai dan kita harus mencintai belajar dari cicak.
Ketika sedang merenovasi sebuah rumah, seseorang mencoba merontokan tembok. Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong diantara tembok yang terbuat dari kayu. Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor cicak terperangkap diantara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah surat.
Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek surat itu, ternyata surat tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.
Apa yang terjadi? Bagaimana cicak itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun??? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikitpun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akan.
Orang itu lalu berpikir, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada surat itu!
Orang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan cicak itu, apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. kemudian, tidak tahu darimana datangnya, seekor cicak lain muncul dengan makanan di mulutnya....AHHHH!
Orang itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor cicak lain yang selalu memperhatikan cicak yang terperangkap itu selama 10 tahun.
Sungguh ini sebuah cinta...cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang kecil seperti dua ekor cicak itu. apa yang dapat dilakukan oleh cinta? tentu saja sebuah keajaiban.
Bayangkan, cicak itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki karunia yang begitu menganggumkan.
Saya tersentuh ketika mendengar cerita ini. Lalu saya mulai berpikir tentang hubungan yang terjalin antara keluarga, teman, kekasih, saudara lelaki, saudara perempuan..... Seiring dengan berkembangnya teknologi, akses kita untuk mendapatkan informasi berkembang sangat cepat. Tapi tak peduli sejauh apa jarak diantara kita, berusahalah semampumu untuk tetap dekat dengan orang-orang yang kita kasihi. JANGAN PERNAH MENGABAIKAN ORANG YANG ANDA KASIHI!!!
*) Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Oleh : Tumpal Marthin H. Sirait *
Happy Valentine pertama saya ucapkan, di hari yang indah ini kita semua merayakan yang di sebut dengan Hari Kasih Sayang atau Valentine days. Dalam renungan kali ini saya tidak akan membahas asal muasal hari Valentine karena menurut saya semua pasti sudah mengetahui dan sudah tidak relevan lagi untuk di bahas. Akan tetapi dalam renungan kali ini bertujuan bagaimana hari Valentine tersebut berdampak dalam kehidupan selanjutnya untuk itu saya akan memberikan sebuah ilustrasi bagaiman cara belajar mencintai dan kita harus mencintai belajar dari cicak.
Ketika sedang merenovasi sebuah rumah, seseorang mencoba merontokan tembok. Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong diantara tembok yang terbuat dari kayu. Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor cicak terperangkap diantara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah surat.
Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek surat itu, ternyata surat tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.
Apa yang terjadi? Bagaimana cicak itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun??? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikitpun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akan.
Orang itu lalu berpikir, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada surat itu!
Orang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan cicak itu, apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. kemudian, tidak tahu darimana datangnya, seekor cicak lain muncul dengan makanan di mulutnya....AHHHH!
Orang itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor cicak lain yang selalu memperhatikan cicak yang terperangkap itu selama 10 tahun.
Sungguh ini sebuah cinta...cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang kecil seperti dua ekor cicak itu. apa yang dapat dilakukan oleh cinta? tentu saja sebuah keajaiban.
Bayangkan, cicak itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki karunia yang begitu menganggumkan.
Saya tersentuh ketika mendengar cerita ini. Lalu saya mulai berpikir tentang hubungan yang terjalin antara keluarga, teman, kekasih, saudara lelaki, saudara perempuan..... Seiring dengan berkembangnya teknologi, akses kita untuk mendapatkan informasi berkembang sangat cepat. Tapi tak peduli sejauh apa jarak diantara kita, berusahalah semampumu untuk tetap dekat dengan orang-orang yang kita kasihi. JANGAN PERNAH MENGABAIKAN ORANG YANG ANDA KASIHI!!!
*) Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Kematian Yesus
Kematian Yesus
" Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku...”
Lukas 23 : 46
I. Pendahuluan
Kematian Yesus di kayu salib sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Kristiani. Dan tidak sdikit para teolog dan ahli tafsir menafsirkan makna kematian Yesus dari berbagai sudut pandang. Dari pernyataan tersebutlah penulis mengangkat Kematian Kristus dengan mengaitkan dengan tindakan bunuh diri.
II. Isi
Pengertian dari bunuh diri adalah suatu tindakan untuk mengakhiri hidup dan mengorbankan nyawanya sendiri maupun dengan kerelaan dibunuh dengan cara yang radikal dengan alasan yang bermacam-macam. Pada umumnya oarang yang bunuh diri melakukan tindakan bunuh diri karena tidak sanggup dalam menghadapi pergumulan di dunia, akan tetapi ada juga yang melakukan bunuh diri dengan kerelaan hati karena memiliki suatu paham idealisme yang radikal sepertim bom bunuh diri yang terjadi di Bali.
Selain bom bunuh diri dan membunuh diri sendiri ada salah satu tindakan yang cuku radikal juga yaitu mengorbankan diri sendiri untuk dibunuh agar oarang yang tadinya terancam nyawanya menjadi selamat.Sehingga ada beberapa teolog yang mengaitkan tindakan Yesus mati di kayu salaib juga merupakan bunuh diri. Akan tetapi kematian Yesus tidak bisa dikaitkan dengan tindakan bunuh diri. Dari kematian Yesus, Ia mengajarkan suatu hal yang menarik. Kematian Yesus dapat disimpulkan sebagai karya penyelamatan Yesus terhadap dosa-dosa manusia. Dalam bahasa Yunani, istilah dei harus dipahami sebagai petunjuk, bukan kepada “takdir yang tak terelakkan”, tetapi “sesuatu yang mutlak perlu dalam keseluruhan misi Yesus. Dari pengertian tersebut merupakan petunjuk pertama bahwa Yesus memandang penderitaan-Nya sebagai bagian dari suatu rencana atau nubuat. Dan jawaban dari “Mengapa Yesus harus mati?” di dalam perjanjian baru memberi dua jawaban. Yang pertama, didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang telah mengakibatkan kematian Yesus. Yang kedua, didasarkan pada pernyataan-pernyataan Yesus tentang diri- Nya sendiri. Tujuan Yesus mati adalah bukan hanya menjadi fakta sejarah yang harus kita terima tetapi juga menjadi fakta pembebasan kita dari kuasa dosa dan si jahat, dan sekaligus menjadi kekuatan yang memungkinkan kita untuk hidup kudus di hadapan- Nya.
Kadangkala ada pendapat yang menyatakan bahwa Kristus mati untuk memungkinkan Allah mengampuni orang-orang berdosa, seakan-akan jika tidak menggunakan cara demikian Allah tidak mampu mengampuni kita. Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa Kristus benar-benar datang untuk menyelamatkan yang terhilang. Anehnya kematian Kristus bukan untuk memberikan manfaat bagi diri-Nya sendiri. Alasannya, karena Kristus adalah Allah, Ia telah memiliki semua kemuliaan dan kuasa yang dapat Ia miliki. Maka, di penghujung kehidupan-Nya di dunia, Ia tidak meminta kemuliaan lain selain kemuliaan yang telah Ia miliki sebelumnya (Yoh. 17:5). Ia tidak perlu mati untuk mendapatkan manfaat baru lainnya bagi diri-Nya sendiri. Kadangkala muncul pendapat bahwa dengan kematian-Nya, Kristus memperoleh hak untuk menjadi Hakim atas segala sesuatu. Tetapi jika tujuan kematian-Nya adalah demi mendapatkan kuasa untuk menghukum sebagian manusia, maka tidak mungkin Ia telah mati untuk menyelamatkan mereka! Karena itu, dapat kita simpulkan bahwa kematian Kristus pastilah bertujuan untuk memberikan manfaat bagi kita. Kematian Kristus bukanlah supaya Bapa dapat menolong kita, jika Ia menginginkan. Bukan juga untuk mendapatkan beberapa manfaat baru bagi Kristus sendiri. Jadi dapat kita simpulkan bahwa.
III. Kesimpulan
Kematian Yesus dapat disimpulkan sebagai karya penyelamatan Yesus terhadap dosa-dosa manusia dan Yesus mati karena Allah sangat mengasihi umatnya manusia dan untuk menebus dosa-dosa umatnya, Allah menyerahkan anaknya yang tunggal Yesus untu disalib. Sehingga kematian Yesus tidak dapat dikaitkan dengan tindakan bunuh diri
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Jan S. Teologi Perjanjian Baru 2. terj. (Jakarta: BPK Gunung Mulia),
Hutauruk, J. R. Bimbingan Pastoral Kepada yang ditinggalkan. (Pematang Siantar : STT HKBP), 1998
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Elektronik 2.0.0 : Alkitab Terjemahan Baru, 1974.
Owen, John. Kematian Yang Menghidupkan : The Death of Deathin the Death of Christ , terj. (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2005.
" Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku...”
Lukas 23 : 46
I. Pendahuluan
Kematian Yesus di kayu salib sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Kristiani. Dan tidak sdikit para teolog dan ahli tafsir menafsirkan makna kematian Yesus dari berbagai sudut pandang. Dari pernyataan tersebutlah penulis mengangkat Kematian Kristus dengan mengaitkan dengan tindakan bunuh diri.
II. Isi
Pengertian dari bunuh diri adalah suatu tindakan untuk mengakhiri hidup dan mengorbankan nyawanya sendiri maupun dengan kerelaan dibunuh dengan cara yang radikal dengan alasan yang bermacam-macam. Pada umumnya oarang yang bunuh diri melakukan tindakan bunuh diri karena tidak sanggup dalam menghadapi pergumulan di dunia, akan tetapi ada juga yang melakukan bunuh diri dengan kerelaan hati karena memiliki suatu paham idealisme yang radikal sepertim bom bunuh diri yang terjadi di Bali.
Selain bom bunuh diri dan membunuh diri sendiri ada salah satu tindakan yang cuku radikal juga yaitu mengorbankan diri sendiri untuk dibunuh agar oarang yang tadinya terancam nyawanya menjadi selamat.Sehingga ada beberapa teolog yang mengaitkan tindakan Yesus mati di kayu salaib juga merupakan bunuh diri. Akan tetapi kematian Yesus tidak bisa dikaitkan dengan tindakan bunuh diri. Dari kematian Yesus, Ia mengajarkan suatu hal yang menarik. Kematian Yesus dapat disimpulkan sebagai karya penyelamatan Yesus terhadap dosa-dosa manusia. Dalam bahasa Yunani, istilah dei harus dipahami sebagai petunjuk, bukan kepada “takdir yang tak terelakkan”, tetapi “sesuatu yang mutlak perlu dalam keseluruhan misi Yesus. Dari pengertian tersebut merupakan petunjuk pertama bahwa Yesus memandang penderitaan-Nya sebagai bagian dari suatu rencana atau nubuat. Dan jawaban dari “Mengapa Yesus harus mati?” di dalam perjanjian baru memberi dua jawaban. Yang pertama, didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang telah mengakibatkan kematian Yesus. Yang kedua, didasarkan pada pernyataan-pernyataan Yesus tentang diri- Nya sendiri. Tujuan Yesus mati adalah bukan hanya menjadi fakta sejarah yang harus kita terima tetapi juga menjadi fakta pembebasan kita dari kuasa dosa dan si jahat, dan sekaligus menjadi kekuatan yang memungkinkan kita untuk hidup kudus di hadapan- Nya.
Kadangkala ada pendapat yang menyatakan bahwa Kristus mati untuk memungkinkan Allah mengampuni orang-orang berdosa, seakan-akan jika tidak menggunakan cara demikian Allah tidak mampu mengampuni kita. Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa Kristus benar-benar datang untuk menyelamatkan yang terhilang. Anehnya kematian Kristus bukan untuk memberikan manfaat bagi diri-Nya sendiri. Alasannya, karena Kristus adalah Allah, Ia telah memiliki semua kemuliaan dan kuasa yang dapat Ia miliki. Maka, di penghujung kehidupan-Nya di dunia, Ia tidak meminta kemuliaan lain selain kemuliaan yang telah Ia miliki sebelumnya (Yoh. 17:5). Ia tidak perlu mati untuk mendapatkan manfaat baru lainnya bagi diri-Nya sendiri. Kadangkala muncul pendapat bahwa dengan kematian-Nya, Kristus memperoleh hak untuk menjadi Hakim atas segala sesuatu. Tetapi jika tujuan kematian-Nya adalah demi mendapatkan kuasa untuk menghukum sebagian manusia, maka tidak mungkin Ia telah mati untuk menyelamatkan mereka! Karena itu, dapat kita simpulkan bahwa kematian Kristus pastilah bertujuan untuk memberikan manfaat bagi kita. Kematian Kristus bukanlah supaya Bapa dapat menolong kita, jika Ia menginginkan. Bukan juga untuk mendapatkan beberapa manfaat baru bagi Kristus sendiri. Jadi dapat kita simpulkan bahwa.
III. Kesimpulan
Kematian Yesus dapat disimpulkan sebagai karya penyelamatan Yesus terhadap dosa-dosa manusia dan Yesus mati karena Allah sangat mengasihi umatnya manusia dan untuk menebus dosa-dosa umatnya, Allah menyerahkan anaknya yang tunggal Yesus untu disalib. Sehingga kematian Yesus tidak dapat dikaitkan dengan tindakan bunuh diri
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Jan S. Teologi Perjanjian Baru 2. terj. (Jakarta: BPK Gunung Mulia),
Hutauruk, J. R. Bimbingan Pastoral Kepada yang ditinggalkan. (Pematang Siantar : STT HKBP), 1998
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Elektronik 2.0.0 : Alkitab Terjemahan Baru, 1974.
Owen, John. Kematian Yang Menghidupkan : The Death of Deathin the Death of Christ , terj. (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2005.
Langganan:
Postingan (Atom)